Menggosip adalah tindakan yang paling dibenci Allah. Tapi celakanya, kebiasaan ini justru disukai banyak orang, baik di kantor, ditempat kerja atau bahkan di rumah. Terurama kalangan ibu-ibu
Banyak hal yang bergeser dan berubah dengan hadirnya pesawat televisi ke rumah kita, terutama yang berkaitan dengan budaya dan akhlak. Salah satu yang jelas terlihat yaitu pergeseran makna bergunjing atau menggosip.
Menggosip adalah tindakan yang kurang terpuji yang celakanya, kebiasaan ini seringkali dilekatkan pada sifat kaum wanita. Dulu, orang akan tersinggung jika dikatakan tukang gosip. Seseorang yang ketahuan sedang menggosip biasanya merasa malu. Namun, sekarang kesan buruk tentang menggosip mungkin sudah mengalami pergeseran.
Beberapa acara informasi kehidupan para artis atau selebritis yang dikemas dalam bentuk paket hiburan atau infotainment dengan jelas-jelas menyebut kata gosip sebagi bagian dari nama acaranya. Bahkan pada salah satu dari acara tersebut pembawa acaranya menyebut dirinya atau menyapa pemirsannya dengan istilah “biang gosip”. Mereka dengan bangganya mengaku sebagai tukang gosip.
Saat ini hampir di setiap stasiun televisi memiliki paket acara seperti di atas. Bahkan satu stasiun ada yang memiliki lebih dari satu paket acara infotainment tersebut, dengan jadwal tayangan ada yang mendapat porsi tiga kali seminggu. Hampir semua isi acara sejenis itu, isinya adalah menyingkap kehidupan pribadi para selebritis. Walhasil, pemirsa akan mengenal betul seluk beluk kehidupan para artis, seolah diajak masuk ke dalam rumah bahkan kamar tidur para artis..
Sepintas acara ini terkesan menghibur. Seorang ibu yang kelelahan setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya mungkin akan terasa terhibur dengan sajian-sajian sisi-sisi kehidupan pribadi orang-orang terkenal. Apalagi kemasan acara yang semakin bervariasi ada yang diselingi nyanyi, wawancara langsung dengan artis, daftar hari ulang tahun para selebritis, dll. Namun jika kita cermati lebih jauh, isinya kurang lebih adalah menggosip atau bergunjing.
Sejak awal tahun 2002 ditandai dengan banyaknya artis yang pisah ranjang dan bercerai. Peristiwa-peristiwa semacam ini merupakan sasaran empuk bagi penyaji hiburan semacam ini. Pemirsa disuguhi sajian informasi yang sarat dengan pergunjingan. Masing-masing pihak merasa benar dan tentu saja menyalahkan pihak lainnya.
Menggosip yang merupakan tindakan buruk, bisa tidak terasa lagi memiliki konotasi buruk jika terus-menerus disosialisasikan dengan paket menarik pada televisi. Menggosip akan terasa sebagai tindakan biasa dan lumrah dilakukan. Menceritakan aib orang lain menjadi sesuatu yang tanpa beban kita lakukan. Padahal jika kita cermati makna gosip -yang sama dengan ghibah- barangkali kita akan merasa ngeri.
Ghibah dalam Islam
Ghibah atau gosip merupakan sesuatu yang dilarang agama. “Apakah ghibah itu?” Tanya seorang sahabat pada Rasulullah SAW. “Ghibah adalah memberitahu kejelekan orang lain!” jawab Rasul. “Kalau keadaaannya memang benar?” Tanya sahabat lagi. “ Jika benar itulah ghibah, jika tidak benar itulah dusta!” tegas Rasulullah. Percakapan tersebut diambil dari HR Abu Hurairah.
Dalam Al Qur’an (QS 49:12), orang yang suka menggibah diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Jabir bin Abdullah ra. Meriwayatkan “ Ketika kami bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba tercium bau busuk yang menyengat seperti bau bangkai maka Rasul pun bersabda, “Tahukah kalian, bau apakah ini? Inilah bau dari orang-orang yang meng-ghibah orang lain”. (HR Ahmad)
Dalam hadits lain dikisahkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Pada malam Isra’ mi’raj, aku melewati suatu kaum yang berkuku tajam yang terbuat dari tembaga. Mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya pada Jibril” Siapa merka?” Jibril menjawab, “Mereka itu suka memakan daging manusia, suka membicarakan dan menjelekkan orang lain, mereka inilah orang-orang yang gemar akan ghibah!” (dari Abu Daud yang berasal dari Anas bin Malik ra).
Begitulah Allah mengibaratkan orang yang suka menggibah dengan perumpamaan yang sangat buruk untuk menjelaskan kepada manusia, betapa buruknya tindakan ghibah.
Banyak kesempatan bagi ibu-ibu untuk menggosip. Pada saat berbelanja mengelilingi gerobak tukang sayur, menyuapi anak di halaman, pada acara arisan atau kumpulan ibu-ibu. Menggibah kadang mendapat pembenaran dengan dalih, “Ini fakta, untuk diambil pelajarannya!”. Padahal di balik itu kurang lebih mungkin lebh banyak factor ghibahnya daripada pelajarannya.
Benarkah orang cenderung suka mengghibah, bahkan terkesan menikmati kebiasaan seperti ini? Menurut seorang pengasuh konsultasi keluarga pada sebuah media cetak, mengatakan rahasia mengapa rubriknya tetap disukai pembaca selama puluhan tahun. Katanya, pada diri manusia itu cenderung terdapat sifat suka menggunjingkan orang lain. Orang cenderung ingin tahu masalah yang terjadi pada orang lain. Dengan demikian ia akan merasa beruntung tidak seperti orang lain atau tidak dirinya saja yang menderita. Karena umumnya surat yang datang untuk berkonsultasi adalah mereka yang memiliki masalah.
Jika demikian kebanyakan sifat dari manusia, tentunya kita harus sering melakukan istighfar. Syaitan dengan mudahnya mempengaruhi kebanyakan hati kita sehingga mungkin kita tengah menumpuk dosa akibat pergunjingan.
Setiap orang mempunyai harga diri yang harus dihormati. Membuat malu seseorang adalah perbuatan dosa. “Tiada seseorang yang menutupi cacat seseorang di dunia, melainkan kelak di hari kiamat Allah pasti akan menutupi cacatnya” (HR. Muslim).
Sosialisasi pergunjingan di televisi bagaimanapun harus dihindari. Jangan sampai kita merasa tidak berdosa melakukannya. Bahkan merasa terhibur dengan informasi semacam itu. Kita mesti berhati-hati. Bahaya ghibah harus senantiasa ditanamkan agar kita senantiasa sadar akan bahayanya. Benar kiranya jika dikatakan bahwa dulu orang tinggal di dalam rumah karena menghindari bahaya dari luar. Kini bahaya justru berasal dari dalam rumah sendiri yaitu dengan hadirnya acara yang menurunkan kualitas iman di televisi.
Tips Menghindar Diri Dari Ghibah
Penyakit yang satu ini begitu mudahnya terjangkit pada diri seseorang. Bisa datang melalui televisi, bisa pula melalui kegiatan arisan, berbagai pertemuan, sekedar obrolan di warung belanjaan, bahkan melalui pengajian. Untuk menghindarinya juga tak begitu mudah, mengharuskan kita ekstra hati-hati
1. Berbicara Sambil Berfikir
Cobalah untuk berpikir sebelum berbicara, ‘perlukah saya mengatakan hal ini?’ dan kembangkan menjadi, ‘apa manfaatnya ? Apa mudharatnya?’. Berarti, otak harus senantiasa digunakan, dalam keadaan sesantai apapun. Seperti Rasulullah saw, yang biasanya memberi jeda sesaat untuk berfikir sebelum menjawab pertanyaan orang.
2. Berbicara Sambil Berzikir
Berzikir di sini maksudnya selalu menghadirkan ingatan kita kepada Allah SWT. Ingatlah betapa buruknya ancaman dan kebencian Allah kepada orang yang ber-ghibah. Bawalah ingatan ini pada saat berbicara dengan siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
3. Tingkatkan rasa Percaya Diri
Orang yang tidak percaya diri, suka mengikut saja perbuatan orang lain, sehingga ia mudah terseret perbuatan ghibah temannya. Bahkan ia pun berpotensi menyebabkan ghibah, karena tak memiliki kebanggaan terhadap dirinya sendiri sehingga lebih senang memperhatikan, membicarakan dan menilai orang lain
4. Buang Penyakit Hati
Kebanyakan ghibah tumbuh karena didasari rasa iri dan benci, juga ketidakikhlasan menerima kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil atau lebih beruntung daripada kita. Dan kalau dirinya kurang beruntung, diapun senang menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih sengsara daripaad dirinya.
5. Posisikan Diri
Ketika sedang membicarakan keburukan orang lain, segera bayangkan bagaimana perasaan kita jika keburukan kita pun dibicarakan orang. Seperti hadis yang menjanjikan bahwa Allah akan menutupi cacat kita sepanjang kita tidak membuka cacat orang lain, sebaliknya tak perlu heran jika Allah pun akan membuka cacat kita di depan orang lain jika kita membuka ` cacat orang.
6. Hindari, ingatkan, diam atau pergi
Hindarilah segala sesuatu yang mendekatkan kita pada ghibah. Seperti acara-acara bernuansa ghibah di televisi dan radio. Juga berita-berita koran dan majalah yang membicarakan kejelekan orang.
Jika terjebak dalam situasi ghibah, ingatkanlah mereka akan kesalahannya. Jika tak mampu, setidaknya anda diam dan tak menanggapi ghibah tersebut. Atau anda memilih hengkang dan ‘menyelamatkan diri’. (Ida S Widayati, penulis tetap rubrik “Jendela Keluarga” Majalah Hidayatullah)
Halal dan Haram dalam Islam
(Fatwa Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi, selaku Ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional)
Ghibah (Mengumpat)
Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:
"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya." (al-Hujurat: 12)
Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut di bawah ini:
"Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, yaitu: Kamu membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia." (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i)
Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya itu dibicarakan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini:
"Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi)
Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya.
Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca.
Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan.
Firman Allah:
"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!" (al-Hujurat: 12)
Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia.
Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging itu telah menjadi bangkai?
Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di dalam hati setiap ada kesempatan untuk itu.
Ibnu Mas'ud pernah berkata:
"Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu." (Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)
Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata:
"Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad dan rawi-rawinya kepercayaan)
Batas Perkenan Ghibah
Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.
Diantara yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya.
Firman Allah:
"Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 148)
Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain karena ada maksud mengadakan hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan suatu urusan yang sangat penting kepadanya.
Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan diri kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.
Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai uang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahwa dia itu tidak mau meletakkan tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan."
Dan termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena bertanya, minta tolong untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut. Misalnya: A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu.
Termasuk yang dikecualikan juga, yaitu menerangkan cacatnya saksi dan rawi-rawi hadis.32
Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:
1. Karena ada suatu kepentingan.
2. Karena suatu niat.
Karena suatu kepentingan
Jadi kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan membicarakan seorang yang tidak hadir dengan sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka tidak boleh berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh memakai takhshish (pengecualian) tersebut.
Misalnya seorang yang sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si Anu."
Semua ini dengan syarat tidak akan membicarakan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau tidak, berarti suatu dosa dan haram.
Karena suatu niat
Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab pribadi manusia itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka niatlah yang dapat membedakan antara perbuatan zalim dan mengobati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan mengoreksi dan antara nasehat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min, seperti dikatakan oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil.
Hukum Islam menetapkan, bahwa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh karena itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.:
"Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan)
"Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)
Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi mulut-mulut yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling minim, yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan lain. Kalau tidak, maka yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:
"Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka" (an-Nisa': 140)
Mengadu Domba
Ketujuh: Kalau ghibah dalam Islam disebut sebagai suatu dosa, maka ada suatu perbuatan yang lebih berat lagi, yaitu mengadu domba (namimah). Yaitu memindahkan omongan seseorang kepada orang yang dibicarakan itu dengan suatu tujuan untuk menimbulkan permusuhan antara sesama manusia, mengotori kejernihan pergaulan dan atau menambah keruhnya pergaulan.
Al-Quran menurunkan ayat yang mencela perbuatan hina ini sejak permulaan perioda Makkah. Firman Allah:
"Dan jangan kamu tunduk kepada orang yang suka sumpah yang hina, yang suka mencela orang, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 10-11)
Dan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Tidak masuk sorga orang-orang yang suka mengadu domba." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Qattat, kadang-kadang disebut juga nammam, yaitu seorang berkumpul bersama orang banyak yang sedang membicarakan suatu pembicaraan, kemudian dia menghasut mereka.
Dan qattat itu sendiri, yaitu seseorang yang memperdengarkan sesuatu kepada orang banyak padahal mereka tidak mengetahuinya, kemudian dia menghasut mereka itu.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Sejelek-jelek hamba Allah yaitu orang-orang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba, yang memecah-belah antara kekasih, yang suka mencari-cari cacat orang-orang yang baik." (Riwayat Ahmad)
Islam, dalam rangka memadamkan pertengkaran dan mendamaikan pertentangan, membolehkan kepada juru pendamai itu untuk merahasiakan omongan tidak baik yang dia ketahui dari omongan seseorang tentang diri orang lain. Dan boleh juga dia menambah omongan baik yang tidak didengarnya. Seperti yang dikatakan Nabi dalam hadisnya:
"Tidak termasuk dusta orang yang mendamaikan antara dua orang, kemudian dia berkata baik atau menambah suatu omongan baik."
Islam sangat membenci orang-orang yang suka mendengarkan omongan jelek, kemudian cepat-cepat memindahkan omongan itu dengan menambah-nambah untuk memperdaya atau karena senang adanya kehancuran dan kerusakan.
Manusia semacam ini tidak mau membatasi diri sampai kepada apa yang didengar itu saja, sebab keinginan untuk menghancurkan itulah yang mendorongnya menambah omongan yang mereka dengar. Dan jika mereka tidak mendengar, mereka berdusta.
Kata seorang penyair:
Kalau mereka mendengar kebaikan, disembunyikan
Dan kalau mendengarkan kejelekan, disiarkan
tetapi jika tidak mendengar apa-apa, ia berdusta.
Ada seorang laki-laki masuk ke tempat Umar bin Abdul Aziz, kemudian membicarakan tentang hal seseorang yang tidak disukainya. Maka berkatalah Umar kepada si laki-laki tersebut; kalau boleh kami akan menyelidiki permasalahanmu itu. Tetapi jika kamu berdusta, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat ini:
"Jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka selidikilah." (al-Hujurat: 6)
Dan jika kamu benar, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat:
"Orang yang suka mencela, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 11)
Tetapi kalau kamu suka, saya akan memberi pengampunan. Maka jawab orang laki-laki tersebut: pengampunan saja ya amirul mu'minin, saya berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Tahukah kalian, apa itu ghibah." Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: "Yaitu, engkau menceritakan saudaramu apa yang tidak ia suka." Ada yang bertanya: Bagaimana jika apa yang aku katakan benar-benar ada pada saudaraku?. Beliau menjawab: "Jika padanya memang ada apa yang engkau katakan, maka engkau telah mengumpatnya dan jika tidak ada,
maka engkau telah membuat kebohongan atasnya." Riwayat Muslim
Dari Abu Darda' Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa membela kehormatan saudaranya tanpa sepengetahuannya,
Allah akan menjaga dirinya dari api neraka pada hari kiamat.
" Hadits hasah riwayat Tirmidzi.
Perkataan yang baik dan pemberian maaf,
lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu
yang menyakitkan (perasaan si penerima).
Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (Al Baqarah 263)
Maka sesuatu yang diberikan kepadamu,
itu adalah kenikmatan hidup di dunia;
dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal
bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal,Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji,
dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. (Asy Syuura:36-37)
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,
maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik.
maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
(Asy Syuura:40)
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian
kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
(Al Hujurat :12)
Demi masa
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.(Al-Asr 1-3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar