Minggu, 11 Desember 2011

Belajar “Memuliakan” Tenaga Pengajar TPA/TPQ (Pengajar Al Qur’an)

Tema tersebut saya angkat, berawal dari perjumpaanku dengan salah seorang pengajar TPA/TPQ disalah satu masjid. Ia menceritakan bagaimana beratnya tanggungjawab sebagai pengelola dan sekaligus pengajar TPA/TPQ selama ini, hampir waktu sorenya dihabiskan untuk mendampingi anak-anak belajar Al Qur’an. Padahal jika dibandingkan pemuda seusianya, banyak para pemuda yang menghabiskan waktu sorenya untuk les pelajaran sekolah, ada yang berolah raga, ada yang bersendau gurau dengan teman lainnya dll, tapi dirinya rela dan ikhlas mendampingi, membimbing dan mengajar di TPA/TPQ. Walaupun ilmu yang dimilikinya terbatas, tapi dirinya tetap bersemangat dan terus berusaha semampunya mengemban amanah dengan sebaik-baiknya, demi adik- adik kampungnya agar bisa membaca Al Qur’an dengan baik. .

Ditengah asiknya dirinya bercerita, saya sesekali bertanya padanya untuk lebih menjelaskannya lagi bagaimana suka dan dukanya menjadi pengajar TPA/TPQ selama ini, .Saat itu saya bertanya padanya, apakah selama ini tidak ada pertemuan rutin dengan pengurus masjid setempat (sebagai bentuk dukungan) dan dana operasional dari pengurus masjid ? Ia memberikan jawaban yang sangat mengherankan saya, jangankan pertemuan mas, melihat langsung TPA/TPQ saja ngak pernah dilakukannya. Sedangkan untuk dana operasional TPA/TPQ saja kita diharuskan membuat proposal terlebih dulu, padahal dana yang kita minta hanya cuma Rp. 50 ribu saja. Mendengar jawaban tersebut, saya sangat heran dan tak hampir pikir dengan perjalanan TPA/TPQ di masjid tersebut. Dalam hati saya hanya bisa prihatin, kok zaman sekarang masih ada saja pengurus masjid yang tidak peduli dengan TPA/TPQ, khususnya lagi pengajar TPA/TPQ (seiring dengan perjalanan waktu, pada akhirnya TPA/TPQ di masjid tersebut mati karena tak terurus dengan baik).

Pembaca sekalian, inilah gambaran nyata dari perjalanan TPA/TPQ kita saat ini, yang tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Semua ini terjadi salah satunya karena tidak adanya penghormatan dan “memuliakan” para pengajar Al Qur’an, khususnya pengajar TPA/TPQ saat ini. Banyak pengurus masjid dan masyarakat muslim saat ini sangat meremehkan tenaga pengajar Al Qur’an. Sehingga banyak pengajar TPA/TPQ yang tidak terurus dengan baik (padahal dana kas masjid sangat melimpah), jangankan subsidi yang layak sebagai bentuk cara kita “memuliakan” tenaga pengajar TPA/TPQ, peduli disaat sakit ataupun peduli disaat keluarganya mengalami kesusahanpun sangat jarang dilakukan. Padahal ditangan merekalah anak-anak kita bisa membaca Al Qur’an dan akhinya mengenal Islam, terlebih lagi tidak ada yang paling berharga di dunia ini sebagai bekal utama anak kita, kecuali bekal-bekal Al Qur’an.

Kenyataan saat ini sangat jauh, jika kita melihat bagaimana para salafusholeh dahulu menghormati dan memuliakan tenaga pengajar Al Qur’an. Mereka rela berkorban apapun agar anak-anak mereka bisa diajari Al Qur’an. Hal ini terlihat dengan jelas pada kisah dibawah ini, yakni ketika Hamad bin Abi hanifah telah lancar membaca Surat Al fatihah, Abu Hanifah memberi imbalan kepada gurunya 100 dirham. Padahal ketika itu dengan uang 1 dirham saja sudah bisa dibelikan seekor domba. Gurunya merasa bahwa imbalan yang diterimanya terlalu besar baginya, padahal ia baru mengajarkan surat Al fatihah. Karena tahu bahwa sang guru merasakan hal itu, maka Abu Hanifah berkata kepadanya : “Janganlah kamu menganggap remeh apa yang kamu ajarkan kepada anakku. Andaikan saja aku punya lebih banyak lagi, aku akan berikan padamu sebagai bentuk pengagungan kepada Al Qur’an”
Sumber : “Mendidik Anak Bersma Nabi” karya Muhammad Suwaid : Penerbit Pustaka Arofah)

Kisah di atas memberi pelajaran yang cukup berharga bagaimana mereka “memuliakan” tenaga pengajar Al Qur’an (karena yang diajarkan adalah Al Qur’an), walaupun bentuk memuliakan tersebut tidak mesti harus diukur dengan materi semata, misalkan mendahulukan mereka menjadi seorang pemimpin/Iman Rowatib masjid (bukan ketua takmir secara otomatis Iman Rowatib, tapi dicari yang laing banyak hafalan dan memamahi Islam). Jika perhatian, kepedulian, dan rasa penghormatan terhadap pengajar Al Qur’an tidak dijunjung tinggi ketika itu, mungkin saat ini kita tidak akan bisa mengenal Al Qur’an dan pada akhirnya kita tidak mengenal Islam.

Pembaca sekalian, tidak adanya penghormatan dan usaha “memuliakan” tenaga pengajar Al Qur’an banyak sekali implikasinya, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun implikasi yang nampak, antara lain :

1. Taman Pendidikan Al Qur’an di masjid sudah pasti tidak akan berjalan atau mati, karena tidak adanya tenaga pengajar Al Qur’an di sekitar masjid yang mampu memberikan pengajaran Al Qur’an di TPA/TPQ
2. Kalau TPA/TPQ masjid mati, sudah bisa dipastikan remaja atau pemudanya pun akan jauh dari Al Qur’an dan masjidnya (maka anda jangan heran, jika ada masjid tanpa pemuda)
3. Kalau pemuda sudah tidak ada di masjid, sudah bisa dipastikan pula masjid tidak akan mendapatkan kemajuan dan kemakmurannya (makmurnya hanya dibulan Ramadhan saja).Adanya hanya sebatas pembangunan, renovasi sana sini, melengkapi perlengkapan ini dan itu saja.
4. Implikasi lainnya adalah kualitas bacaan Imam Sholat Rowatibnya pun tidak memiliki bacaan yang sesuai kaidah membaca Al Qur’an yang baik dan benar, hal ini bisa dimungkinkan dulunya sang imam tidak pernah belajar Al Qur’an di TPA/TPQ, maka wajar jika bacaan Qur’annya tidak terpercaya.


Sebagai akhir dari tulisan ini, sudah saatnya kita hormati dan “muliakan” tenaga pengajar TPA/TPQ saat ini, kita berikan apresiasi yang setinggi-tingginya pada mereka, sebab tanpa mereka, anak dan generasi kita tak akan mampu dan mengerti Al Qur’an. Tempatkan para pengajar Al Qur’an di makam kita yang tertinggi, dahulukan mereka untuk menjadi Imam sholat walaupun kita lebih pandai dan tua. Hormatilah mereka karena dipundaknya Al Qur’an diamanahkan, ringankan mereka untuk mengemban amanah Al Qur’an.

Maka dari itu, jangan harap masjid akan menemukan kemakmurannya jika para pengurus masjid tidak menghormati dan memuliakan para tenaga pengajar TPA/TPQ yang ada di masjidnya. Dan jangan harap pula para orang tua akan menjumpai anak-anak mereka pandai membaca dan memahami Al Qur’an, jika tidak ada usaha untuk menghormati dan memuliakan tenaga pengajar Al Qur’an, khususnya pengajar TPA/TPQ. Untuk itu hormati dan muliakanlah tenaga pengajar Al Qur’an yang telah membimbing dan membekali anak-anak kita dengan Al Qur’an semampu kita. Sebab apa yang telah diajarkannya pada anak kita akan senantiasa kita dapatkan hasilnya di dunia maupun di akhirat. Jangan malas untuk menantiasa mendorong anak kita mengerti Al Qur’an, sebab dia akan menjadi lading amal kita disaat kita sudah tiada. (Sumber:www.khoirotunhisan.org)

Sabtu, 23 April 2011

PENDIDIKAN ANAK DALAM ISLAM

Dan orang-orang yang berkata : “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari isteri-isteri kami dan keturunan kami kesenangan hati, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
( QS. Al-Furqan : 74 )
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. At Tahrim: 6 ).
“Apabila manusia mati maka terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu bermanfaat, atau anak shaleh yang mendo’akannya.”
(HR. Muslim, dari Abu Hurairah)

PENDAHULUAN
Segala puji milik Allah Tuhan semesta alam.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasul termulia, kepada keluarga dan para sahabatnya.
Seringkali orang mengatakan: “Negara ini adikuasa, bangsa itu mulia dan kuat, tak ada seorangpun yang berpikir mengintervensi negara tersebut atau menganeksasinya karena kedigdayaan dan keperkasaannya” .
Dan elemen kekuatan adalah kekuatan ekonomi, militer, teknologi dan kebudayaan. Namun, yang terpenting dari ini semua adalah kekuatan manusia, karena manusia adalah sendi yang menjadipusat segala elemen kekuatan lainnya. Tak mungkin senjata dapat dimanfaatkan, meskipun canggih, bila tidak ada orang yang ahli dan pandai menggunakannya. Kekayaan, meskipun melimpah, akan menjadi mubadzir tanpa ada orang yang mengatur dan mendaya-gunakannya untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat.
Dari titik tolak ini, kita dapati segala bangsa menaruh perhatian terhadap pembentukan individu, pengembangan sumber daya manusia dan pembinaan warga secara khusus agar mereka menjadi orang yang berkarya untuk bangsa dan berkhidmat kepada tanah air.
Sepatutnya umat Islam memperhatikan pendidikan anak dan pembinaan individu untuk mencapai predikat “umat terbaik”, sebagaimana dinyatakan Allah ‘Azza Wa lalla dalam firman-Nya:

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dariyang munkar… “. (Surah Ali Imran : 110).
Dan agar mereka membebaskan diri dari jurang dalam yang mengurung diri mereka, sehingga keadaan mereka dengan umat lainnya seperti yang beritakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
“Hampir saja umat-umat itu mengerumuni kalian bagaikan orang-orang yang sedang makan berkerumun disekitar nampan.”. Ada seorang yang bertanya: “Apakah karena kita berjumlah sedikit pada masa itu?” Jawab beliau: “Bahkan kalian pada masa itu berjumlah banyak, akan tetapi kalian bagaikan buih air bah. Allah niscaya mencabut dari hati musuh kalian rasa takut kepada kalian, dan menanamkan rasa kelemahan dalam dada kalian”. Seorang bertanya: “Ya Rasulullah, apakah maksud kelemahan itu?” Jawab beliau: “Yaitu cinta kepada dunia dan enggan mati”.

PERANAN KELUARGA DALAM ISLAM
Keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan, baik dalam lingkungan masyarakat Islam maupun non-Islam. Karerena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupanya (usia pra-sekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sudahnya.
Dari sini, keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat. Karena keluarga merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk mencetak dan mempersiapkan personil-personilnya.
Musuh-musuh Islam telah menyadari pentingya peranan keluarga ini. Maka mereka pun tak segan-segan dalam upaya menghancurkan dan merobohkannya. Mereka mengerahkan segala usaha ntuk mencapai tujuan itu. Sarana yang mereka pergunakan antara lain:

1. Merusak wanita muslimah dan mempropagandakan kepadanya agar meninggallkan tugasnya yang utama dalam menjaga keluarga dan mempersiapkan generasi.

2. Merusak generasi muda dengan upaya mendidik mereka di tempat-tempat pengasuhan yang jauh dari keluarga, agar mudah dirusak nantinya.

3. Merusak masyarakat dengan menyebarkan kerusakan dan kehancuran, sehingga keluarga, individu dan masyarakat seluruhnya dapat dihancurkan.

Sebelum ini, para ulama umat Islam telah menyadari pentingya pendidikan melalui keluarga. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali ketika membahas tentang peran kedua orangtua dalam pendidikan mengatakan: “Ketahuilah, bahwa anak kecil merupakan amanat bagi kedua orangtuanya. Hatinya yang masih suci merupakan permata alami yang bersih dari pahatan dan bentukan, dia siap diberi pahatan apapun dan condong kepada apa saja yang disodorkan kepadanya Jika dibiasakan dan diajarkan kebaikan dia akan tumbuh dalam kebaikan dan berbahagialah kedua orang tuanya di dunia dari akherat, juga setiap pendidik dan gurunya. Tapi jika dibiasakan kejelekan dan dibiarkan sebagai mana binatang temak, niscaya akan menjadi jahat dan binasa. Dosanya pun ditanggung oleh penguru dan walinya. Maka hendaklah ia memelihara mendidik dan membina serta mengajarinya akhlak yang baik, menjaganya dari teman-teman jahat, tidak membiasakannya bersenang-senang dan tidak pula menjadikannya suka kemewahan, sehingga akan menghabiskan umurnya untuk mencari hal tersebut bila dewasa.”

TUJUAN PENDIDIKAN DALAM ISLAM
Banyak penulis dan peneliti membicarakan tentang tujuan pendidikan individu muslim. Mereka berbicara panjang lebar dan terinci dalam bidang ini, hal yang tentu saja bermanfaat. Apa yang mereka katakan kami ringkaskan sebagai berikut:
” Nyatalah bahwa pendidikan individu dalam islam mempunyai tujuan yang jelas dan tertentu, yaitu: menyiapkan individu untuk dapat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tak perlu dinyatakan lagi bahwa totalitas agama Islam tidak membatasi pengertian ibadah pada shalat, shaum dan haji; tetapi setiap karya yang dilakukan seorang muslim dengan niat untuk Allah semata merupakan ibadah.” (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Mu’atstsirat as Salbiyah fi Tarbiyati at Thiflil Muslim wa Thuruq ‘Ilajiha, hal. 76.

MEMPERHATIKAN ANAK SEBELUM LAHIR
Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri yang shalelhah, Rasulullah SAW memberikan nasehat dan pelajaran kepada orang yang hendak berkeluarga dengan bersabda :
” Dapatkan wanita yang beragama, (jika tidak) niscaya engkau merugi” (HR.Al-Bukhari dan Muslim)
Begitu pula bagi wanita, hendaknya memilih suami yang sesuai dari orang-orang yang datang melamarnya. Hendaknya mendahulukan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Rasulullah memberikan pengarahan kepada para wali dengan bersabda :
“Bila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan akhlaknya, maka kawikanlah. Jika tidak kamu lakukan, nisacayaterjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar”
Termasuk memperhatikan anak sebelum lahir, mengikuti tuntunan Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah memerintahkan kepada kita:
“Jika seseorang diantara kamu hendak menggauli isterinya, membaca: “Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami”. Maka andaikata ditakdirkan keduanya mempunyai anak, niscaya tidak ada syaitan yang dapat mencelakakannya”.

MEMPERHATIKAN ANAK KETIKA DALAM KANDUNGAN
Setiap muslim akan merasa kagum dengan kebesaran Islam. Islam adalah agama kasih sayang dan kebajikan. Sebagaimana Islam memberikan perhatian kepada anak sebelum kejadiannya, seperti dikemukakan tadi, Islam pun memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih menjadi janin dalam kandungan ibunya. Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya. Sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya Allah membebaskan separuh shalat bagi orang yang bepergian, dan (membebaskan) puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui dan wanita hamil” (Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i. Kata Al Albani dalam Takhrij al Misykat: “Isnad hadits inijayyid’ )
Sang ibu hendaklah berdo’a untuk bayinya dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin. Karena termasuk do’a yang dikabulkan adalah do’a orangtua untuk anaknya.
MEMPERHATIKAN ANAK SETELAH LAHIR
Setelah kelahiran anak, dianjurkan bagi orangtua atau wali dan orang di sekitamya melakukan hal-hal berikut:

1. Menyampaikan kabar gembira dan ucapan selamat atas kelahiran.
Begitu melahirkan, sampaikanlah kabar gembira ini kepada keluarga dan sanak famili, sehingga semua akan bersuka cita dengan berita gembira ini. Firman Allah ‘Azza Wa Jalla tentang kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam bersama malaikat:
“Dan isterinya berdiri (di balik tirai lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari lshaq (akan lahir puteranya) Ya ‘qub. ” (Surah Hud : 71).
Dan firman Allah tentang kisah Nabi Zakariya ‘Alaihissalam:
“Kemudian malaikat Jibril memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): “Sesungguhnya Allah mengembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu ) Yahya ” (Ali Imran: 39).
Adapun tahni’ah (ucapan selamat), tidak ada nash khusus dari Rasul dalam hal ini, kecuali apa yang disampaikan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam apabila dihadapkan kepada beliau anak-anak bayi, maka beliau mendo’akan keberkahan bagi mereka dan mengolesi langit-langit mulutnya (dengan korma atau madu )” ( Hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud).
Abu Bakar bin Al Mundzir menuturkan: Diriwayatkan kepada kami dari Hasan Basri, bahwa seorang laki-laki datang kepadanya sedang ketika itu ada orang yang baru saja mendapat kelahiran anaknya. Orang tadi berkata: Penunggang kuda menyampaikan selamat kepadamu. Hasan pun berkata: Dari mana kau tahu apakah dia penunggang kuda atau himar? Maka orang itu bertanya: Lain apa yang mesti kita ucapkan. Katanya: Ucapkanlah:
“Semoga berkah bagimu dalam anak, yang diberikan kepadamu, Kamu pun bersyukur kepada Sang Pemberi, dikaruniai kebaikannya, dan dia mencapai kedewasaannya” ( Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Tuhfatul fi Ahkamil Maulud.)

2. Menyerukan adzan di telinga bayi.
Abu Rafi’ Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan:
“Aku melihat Rasulullah memperdengarkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan Fatimah” ( Hadits riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi.
Hikmahnya, Wallahu A’lam, supaya adzan yang berisi pengagungan Allah dan dua kalimat syahadat itu merupakan suara yang pertama kali masuk ke telinga bayi. Juga sebagai perisai bagi anak, karena adzan berpengaruh untuk mengusir dan menjauhkan syaitan dari bayi yang baru lahir, yang ia senantiasa berupaya untuk mengganggu dan mencelakakannya. Ini sesuai dengan pemyataan hadits:
” Jika diserukan adzan untuk shalat, syaitan lari terbirit-birit dengan mengeluarkan kentut sampai tidak mendengar seruan adzan” (Ibid)

3. Tahnik (Mengolesi langit-langit mulut).
Termasuk sunnah yang seyogianya dilakukan pada saat menerima kelahiran bayi adalah tahnik, yaitu melembutkan sebutir korma dengan dikunyah atau menghaluskannya dengan cara yang sesuai lalu dioleskan di langit-langit mulut bayi. Caranya,dengan menaruh sebagian korma yang sudah lembut di ujung jari lain dimasukkan ke dalam mulut bayi dan digerakkan dengan lembut ke kanan dan ke kiri sampai merata. Jika tidak ada korma, maka diolesi dengan sesuatu yang manis (seperti madu atau gula). Abu Musa menuturkan:
“Ketika aku dikaruniai seorang anak laki-laki, aku datang kepada Nabi, maka beliau menamainya Ibrahim, mentahniknya dengan korma dan mendo’akan keberkahan baginya, kemudian menyerahkan kepadaku”.
Tahnik mempunyai pengaruh kesehatan sebagaimana dikatakan para dokter. Dr. Faruq Masahil dalam tulisan beliau yang dimuat majalah Al Ummah, Qatar, edisi 50, menyebutkan: “Tahnik dengan ukuran apapun merupakan mu’jizat Nabi dalam bidang kedokteran selama empat belas abad, agar umat manusia mengenal tujuan dan hikmah di baliknya. Para dokter telah membuktikan bahwa semua anak kecil (terutama yang baru lahir dan menyusu) terancam kematian, kalau terjadi salah satu dari dua hal:
a. Jika kekurangan jumlah gula dalam darah (karena kelaparan).
b. Jika suhu badannya menurun ketika kena udara dingin di sekelilingnya.”‘

4. Memberi nama.
Termasuk hak seorang anak terhadap orangtua adalah memberi nama yang baik. Diriwayatkan dari Wahb Al Khats’ami bahwa Rasulullah bersabda:
” Pakailah nama nabi-nabi, dan nama yang amat disukai Allah Ta’ala yaitu Abdullah dan Abdurrahman, sedang nama yang paling manis yaitu Harits dan Hammam, dan nama yang sangat jelek yaitu Harb dan Murrah” ( HR.Abu Daud An Nasa’i)
Pemberian nama merupakan hak bapak.Tetapi boleh baginya menyerahkan hal itu kepada ibu. Boleh juga diserahkan kepada kakek, nenek,atau selain mereka.
Rasulullah merasa optimis dengan nama-nama yang baik. Disebutkan Ibnul Qayim dalam Tuhfaful Wadttd bi Ahkami Maulud, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tatkala melihat Suhail bin Amr datang pada hari Perjanjian Hudaibiyah beliau bersabda: “Semoga mudah urusanmu”
Dalam suatu perjalanan beliau mendapatkan dua buah gunung, lain beliau bertanya tentang namanya. Ketika diberitahu namanya Makhez dan Fadhih, beliaupun berbelok arah dan tidak melaluinya.( Ibnu Qayim Al Jauziyah, Tuhfatul Wadud, hal. 41.)
Termasuk tuntunan Nabi mengganti nama yang jelek dengan nama yang baik. Beliau pernah mengganti nama seseorang ‘Ashiyah dengan Jamilah, Ashram dengan Zur’ah. Disebutkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan :”Nabi mengganti nama ‘Ashi, ‘Aziz, Ghaflah, Syaithan, Al Hakam dan Ghurab. Beliau mengganti nama Syihab dengan Hisyam, Harb dengan Aslam, Al Mudhtaji’ dengan Al Munba’its, Tanah Qafrah (Tandus) dengan Khudrah (Hijau), Kampung Dhalalah (Kesesatan) dengan Kampung Hidayah (Petunjuk), dan Banu Zanyah (Anak keturunan haram) dengan Banu Rasydah (Anak keturunan balk).” (Ibid)

5. Aqiqah.
Yaitu kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Salman bin Ammar Adh Dhabbi, katanya: Rasulullah bersabda:
“Setiap anak membawa aqiqah, maka sembelihlah untuknya dan jauhkanlah gangguan darinya” (HR. Al Bukhari.)
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha,bahwaRasulullah bersabda:
“Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding, sedang untuk anak perempuan seekor kambing” (HR. Ahmad dan Turmudzi).
Aqiqah merupakah sunnah yang dianjurkan. Demikian menurut pendapat yang kuat dari para ulama. Adapun waktu penyembelihannya yaitu hari ketujuh dari kelahiran. Namun, jika tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh boleh dilaksanakan kapan saja, Wallahu A’lam.
Ketentuan kambing yang bisa untuk aqiqah sama dengan yang ditentukan untuk kurban. Dari jenis domba berumur tidak kurang dari 6 bulan, sedang dari jenis kambing kacang berumur tidak kurang dari 1 tahun, dan harus bebas dari cacat.

6. Mencukur rambut bayi dan bersedekah perak seberat timbangannya.
Hal ini mempunyai banyak faedah, antara lain: mencukur rambut bayi dapat memperkuat kepala, membuka pori-pori di samping memperkuat indera penglihatan, pendengaran dan penciuman. (Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyatul Auladfil Islam, juz 1.)
Bersedekah perak seberat timbangan rambutnya pun mempunyai faedah yang jelas.
Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari bapaknya, katanya:
“Fatimah Radhiyalllahu ‘anha menimbang rambut Hasan, Husein, Zainab dan Ummu Kaltsum; lalu ia mengeluarkan sedekah berupa perak seberat timbangannya (HR. Imam Malik dalam Al Muwaththa’)

7. Khitan.
Yaitu memotong kulup atau bagian kulit sekitar kepala zakar pada anak laki-laki, atau bagian kulit yang menonjol di atas pintu vagina pada anak perempuan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah bersabda:
“Fitrah itu lima: khitan, mencukur rambut kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak” (HR. Al-bukhari, Muslim)
Khitan wajib hukumnya bagi kaum pria, dan rnustahab (dianjurkar) bagi kaum wanita.WallahuA’lam.

Inilah beberapa etika terpenting yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh orangtua atau pada saat-saat pertama dari kelahiran anak.
Namun, di sana ada beberapa kesalahan yang terjadi pada saat menunggu kedatangannya Secara singkat, antara lain:

A. Membacakan ayat tertentu dari Al Qur’an untuk wanita yang akan melahirkan; atau menulisnya lalu dikalungkan pada wanita, atau menulisnya lalu dihapus dengan air dan diminumkan kepada wanita itu atau dibasuhkan pada perut danfarji (kemaluan)nya agar dimudahkan dalam melahirkan. ltu semua adalah batil, tidak ada dasamya yang shahih dari Rasulullah, Akan tetapi bagi wanita yang sedang menahan rasa sakit karena melahirkan wajib berserah diri kepada Allah agar diringankan dari rasa sakit dan dibebaskan dari kesulitannya Dan ini tidak bertentangan dengan ruqyah yang disyariatkan.

B. Menyambut gembira dan merasa senang dengan kelahiran anak laki-laki, bukan anak perempuan.
Hal ini termasuk adat Jahiliyah yang dimusuhi Islam. Firman Allah yang berkenaan dengan mereka:
“Apabila seseorang dari merea diberi kabar dengan (kelahiran) anak, perempuan, hitamlah (merah padamlah) matanya, dan dia sangat marah; ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan padanya. Apakah dia akan memeliharannya dengan menanggumg kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang telah mereka lakukan itu”(Surah An Nahl : 58-59).
Mungkin ada sebagian orang bodoh yang bersikap berlebihan dalam hal ini dan memarahi isterinya karena tidak melahirkan kecuali anak perempuan. Mungkin pula menceraikan isterinya karena hal itu, padahal kalau dia menggunakan akalnya, semuanya berada di tangan Allah ‘Azza wa lalla. Dialah yang memberi dan menolak. Firman-Nya:
Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki atau Dia menganugerahkan kepada siapa yang dia kehendaki-Nya, dan dia menjadikan Mandul siapa yang Dia kehendaki…” (Surah Asy Syura :49-50).
Semoga Allah memberikan petunjukkepada seluruh kaum Muslimin.

C. Menamai anak dengan nama yang tidak pantas.Misalnya, nama yang bermakna jelek, atau nama orang-orang yang menyimpang seperti penyanyi atau tokoh kafir. Padahal menamai anak dengan nama yang baik merupakan hak anak yang wajib atas walinya.
Termasuk kesalahan yang berkaitan dengan pemberian nama, yaitu ditangguhkan sampai setelah seminggu.

D. Tidak menyembelih aqiqah untuk anak padahal mampu melakukannya. Aqiqah merupakan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam, dan mengikuti tuntunan beliau adalah sumber segala kebaikan.

E. Tidak menetapi jumlah bilangan yang ditentukan untuk aqiqah. Ada yang mengundang untuk acara aqiqah semua kenalannya dengan menyembelih 20 ekor kambing, ini merupakan tindakan berlebihan yang tidak disyariatkan. Ada pula yang kurang dari jumlah bilangan yang ditentukan, dengan menyembelih hanya seekor kambing untuk anak iaki-laki, inipun menyalahi yang disyariatkan. Maka hendaklah kita menetapi sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wasalam tanpa menambah ataupun mengurangi.

F. Menunda khitan setelah akil baligh.Tradisi ini dulu terjadi pada beberapa suku, seorang anak dikhitan sebelum kawin dengan cara yang biadab di hadapan orang banyak.
Itulah sebagian kesalahan, dan masih banyak lainnya. Semoga cukup bagi kita dengan menyebutkan etika dan tata cara yang dituntunkan ketika menerima kelahiran anak. Karena apapun yang bertentangan dengan hal-hal tersebut, termasuk kesalahan yang tidak disyariatkan. (Disarikan dari kitab Adab Istiqbal al Maulud fil Islam, oleh ustadz Yusuf Abdullah al Arifi)

MEMPERHATIKAN ANAK PADA USIA ENAM TAHUN PERTAMA
Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadinya. Apapun yang terekam dalam benak anak pada periede ini, nanti akan tampak pengaruh-pengaruhnya dengannyata pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa. (Aisyah Abdurrahman Al Jalal, Al Muatstsirat as Salbiyah.)
Karena itu, para pendidik perlu memberikan banyak perhatian pada pendidikan anak dalam periode ini.
Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua dapat kami ringkaskan sebagai berikut:

1. Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu.
Ini perlu sekali, agar anak belajar mencintai orang lain. Jika anak tidak merasakan cintakasih ini,maka akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja dan membenci orang disekitamya. “Seorang ibu yang muslimah harus menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang mesti menghalanginya untuk memberikan kepada anak kebutuhan alaminya berupa kasih sayang dan perlindungan. Dia akan merusak seluruh eksistensi anak, jika tidak memberikan haknya dalam perasaan-perasaan ini, yang dikaruniakan Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya dalam diri ibu, yang memancar dengan sendirinya untuk memenuhi kebutuhan anak.” (Muhammad Quthub,Manhaiut Tarbiyah Al Islamiyah, juz 2.)
Maka sang ibu hendaklah senantiasa memperhatikan hal ini dan tidak sibuk dengan kegiatan karir di luar rumah, perselisihan dengan suami atau kesibukan lainnya.

2. Membiasakan anak berdisiplin mulai dari bulan-bulan pertama dari awal kehidupannya.
Kami kira, ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Telah terbukti bahwa membiasakan anak untuk menyusu dan buang hajat pada waktu-waktu tertentu dan tetap, sesuatu yang mungkin meskipun melalui usaha yang berulang kali sehingga motorik tubuh akan terbiasa dan terlatih dengan hal ini.
Kedisiplinan akan tumbuh dan bertambah sesuai dengan pertumbuhan anak, sehingga mampu untuk mengontrol tuntutan dan kebutuhannya pada masa mendatang.

3. Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan yang baik bagi anak dari permulaan kehidupannya.
Yaitu dengan menetapi manhaj Islam dalam perilaku mereka secara umum dan dalam pergaulannya dengan anak secara khusus. Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di hadapannya. Ini mempunyai pengaruh yang besar sekali pada pribadi anak. “Karena kemampuan anak untuk menangkap, dengan sadar atau tidak, adalah besar sekali. Terkadang melebihi apa yang kita duga. Sementara kita melihatnya sebagai makhluk kecil yang tidak tahu dan tidak mengerti. Memang, sekalipun ia tidak mengetahui apa yang dilihatnya, itu semua berpengaruh baginya. Sebab, di sana ada dua alat yang sangat peka sekali dalam diri anak yaitu alat penangkap dan alat peniru, meski kesadarannya mungkin terlambat sedikit atau banyak.
Akan tetapi hal ini tidak dapat merubah sesuatu sedikitpun. Anak akan menangkap secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran puma, dan akan meniru secara tidak sadar, atau tanpa kesadaran purna, segala yang dilihat atau didengar di sekitamya.” (Ibid.)

4. Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulannya.
Antara lain: (Silahkan lihat Ahmad Iuuddin Al Bayanuni,MinhajAt TarbiyahAsh Shalihah.)

” Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan. Jika makan dengan tangan kiri, diperingatkan dan dipindahkan makanannya ke tangan kanannya secara halus.

” Dibiasakan mendahulukan bagian kanan dalam berpakaian. Ketika mengenakan kain, baju, atau lainnya memulai dari kanan; dan ketika melepas pakaiannya memulai dari kiri.

” Dilarang tidur tertelungkup dandibiasakan ·tidur dengan miring ke kanan.

” Dihindarkan tidak memakai pakaian atau celana yang pendek, agar anak tumbuh dengan kesadaran menutup aurat dan malu membukanya.

” Dicegah menghisap jari dan menggigit kukunya.

” Dibiasakan sederhana dalam makan dan minum, dan dijauhkan dari sikap rakus.

” Dilarang bermain dengan hidungnya.

” Dibiasakan membaca Bismillah ketika hendak makan.

” Dibiasakan untuk mengambil makanan yang terdekat dan tidak memulai makan sebelum orang lain.

” Tidak memandang dengan tajam kepada makanan maupun kepada orang yang makan.

” Dibiasakan tidak makan dengan tergesa-gesa dan supaya mengunyah makanan dengan baik.

” Dibiasakan memakan makanan yang ada dan tidak mengingini yang tidak ada.

” Dibiasakan kebersihan mulut denganmenggunakan siwak atau sikat gigi setelah makan, sebelum tidur, dan sehabis bangun tidur.

” Dididik untuk mendahulukan orang lain dalam makanan atau permainan yang disenangi, dengan dibiasakan agar menghormati saudara-saudaranya, sanak familinya yang masih kecil, dan anak-anak tetangga jika mereka melihatnya sedang menikmati sesuatu makanan atau permainan.

” Dibiasakan mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengulanginya berkali-kali setiap hari.

” Dibiasakan membaca “AZhamdulillah” jika bersin, dan mengatakan

“Yarhamukallah” kepada orang yang bersin jika membaca “Alhamdulillah”.

” Supaya menahan mulut dan menutupnya jika menguap, dan jangan sampai bersuara.

” Dibiasakan berterima kasih jika mendapat suatu kebaikan, sekalipun hanya sedikit.

” Tidak memanggil ibu dan bapak dengan namanya, tetapi dibiasakan memanggil dengan kata-kata: Ummi (Ibu), dan Abi (Bapak).

” Ketika berjalan jangan mendahului kedua orangtua atau siapa yang lebih tua darinya, dan tidak memasuki tempat lebih dahulu dari keduanya untuk menghormati mereka.

” Dibiasakan bejalan kaki pada trotoar, bukan di tengah jalan.

” Tidak membuang sampah dijalanan, bahkan menjauhkan kotoran darinya.
” Mengucapkan salam dengan sopan kepada orang yang dijumpainya dengan mengatakan “Assalamu ‘Alaikum” serta membalas salam orang yang mengucapkannya.

” Diajari kata-kata yang benar dan dibiasakan dengan bahasa yang baik.

” Dibiasakan menuruti perintah orangtua atau siapa saja yang lebih besar darinya, jika disuruh sesuatu yang diperbolehkan.

” Bila membantah diperingatkan supaya kembali kepada kebenaran dengan suka rela, jika memungkinkan. Tapi kalau tidak, dipaksa untuk menerima kebenaran, karena hal ini lebih baik daripada tetap membantah dan membandel.

” Hendaknya kedua orangtua mengucapkan terima kasih kepada anak jika menuruti perintah dan menjauhi larangan. Bisa juga sekali-kali memberikan hadiah yang disenangi berupa makanan, mainan atau diajak jalan-jalan.

” Tidak dilarang bermain selama masih aman, seperti bermain dengan pasir dan permainan yang diperbolehkan, sekalipun menyebabkan bajunya kotor. Karena permainan pada periode ini penting sekali untuk pembentukan jasmani dan akal anak.

” Ditanamkan kepada anak agar senang pada alat permainan yang dibolehkan seperti bola, mobil-mobilan, miniatur pesawat terbang, dan lain-lainnya. Dan ditanamkan kepadanya agar membenci alat permainan yang mempunyai bentuk terlarang seperti manusia dan hewan.

” Dibiasakan menghormati milik orang lain, dengan tidak mengambil permainan ataupun makanan orang lain, sekalipun permainan atau makanan saudaranya sendiri.

Rabu, 06 April 2011

semangat

TPQ Syansulhuda siap maju selangkah lagi. Dengan melihat semangat santri-santri dan kegigihan para pengasuh, insyaAllah Visi dan Misi kita dapat tercapai. Amin

Selasa, 05 April 2011

Bahaya Ghibah dan Ngerumpi!!!!

Menggosip adalah tindakan yang paling dibenci Allah. Tapi celakanya, kebiasaan ini justru disukai banyak orang, baik di kantor, ditempat kerja atau bahkan di rumah. Terurama kalangan ibu-ibu

Banyak hal yang bergeser dan berubah dengan hadirnya pesawat televisi ke rumah kita, terutama yang berkaitan dengan budaya dan akhlak. Salah satu yang jelas terlihat yaitu pergeseran makna bergunjing atau menggosip.

Menggosip adalah tindakan yang kurang terpuji yang celakanya, kebiasaan ini seringkali dilekatkan pada sifat kaum wanita. Dulu, orang akan tersinggung jika dikatakan tukang gosip. Seseorang yang ketahuan sedang menggosip biasanya merasa malu. Namun, sekarang kesan buruk tentang menggosip mungkin sudah mengalami pergeseran.

Beberapa acara informasi kehidupan para artis atau selebritis yang dikemas dalam bentuk paket hiburan atau infotainment dengan jelas-jelas menyebut kata gosip sebagi bagian dari nama acaranya. Bahkan pada salah satu dari acara tersebut pembawa acaranya menyebut dirinya atau menyapa pemirsannya dengan istilah “biang gosip”. Mereka dengan bangganya mengaku sebagai tukang gosip.

Saat ini hampir di setiap stasiun televisi memiliki paket acara seperti di atas. Bahkan satu stasiun ada yang memiliki lebih dari satu paket acara infotainment tersebut, dengan jadwal tayangan ada yang mendapat porsi tiga kali seminggu. Hampir semua isi acara sejenis itu, isinya adalah menyingkap kehidupan pribadi para selebritis. Walhasil, pemirsa akan mengenal betul seluk beluk kehidupan para artis, seolah diajak masuk ke dalam rumah bahkan kamar tidur para artis..

Sepintas acara ini terkesan menghibur. Seorang ibu yang kelelahan setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya mungkin akan terasa terhibur dengan sajian-sajian sisi-sisi kehidupan pribadi orang-orang terkenal. Apalagi kemasan acara yang semakin bervariasi ada yang diselingi nyanyi, wawancara langsung dengan artis, daftar hari ulang tahun para selebritis, dll. Namun jika kita cermati lebih jauh, isinya kurang lebih adalah menggosip atau bergunjing.

Sejak awal tahun 2002 ditandai dengan banyaknya artis yang pisah ranjang dan bercerai. Peristiwa-peristiwa semacam ini merupakan sasaran empuk bagi penyaji hiburan semacam ini. Pemirsa disuguhi sajian informasi yang sarat dengan pergunjingan. Masing-masing pihak merasa benar dan tentu saja menyalahkan pihak lainnya.

Menggosip yang merupakan tindakan buruk, bisa tidak terasa lagi memiliki konotasi buruk jika terus-menerus disosialisasikan dengan paket menarik pada televisi. Menggosip akan terasa sebagai tindakan biasa dan lumrah dilakukan. Menceritakan aib orang lain menjadi sesuatu yang tanpa beban kita lakukan. Padahal jika kita cermati makna gosip -yang sama dengan ghibah- barangkali kita akan merasa ngeri.

Ghibah dalam Islam

Ghibah atau gosip merupakan sesuatu yang dilarang agama. “Apakah ghibah itu?” Tanya seorang sahabat pada Rasulullah SAW. “Ghibah adalah memberitahu kejelekan orang lain!” jawab Rasul. “Kalau keadaaannya memang benar?” Tanya sahabat lagi. “ Jika benar itulah ghibah, jika tidak benar itulah dusta!” tegas Rasulullah. Percakapan tersebut diambil dari HR Abu Hurairah.

Dalam Al Qur’an (QS 49:12), orang yang suka menggibah diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Jabir bin Abdullah ra. Meriwayatkan “ Ketika kami bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba tercium bau busuk yang menyengat seperti bau bangkai maka Rasul pun bersabda, “Tahukah kalian, bau apakah ini? Inilah bau dari orang-orang yang meng-ghibah orang lain”. (HR Ahmad)

Dalam hadits lain dikisahkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Pada malam Isra’ mi’raj, aku melewati suatu kaum yang berkuku tajam yang terbuat dari tembaga. Mereka mencabik-cabik wajah dan dada mereka sendiri. Lalu aku bertanya pada Jibril” Siapa merka?” Jibril menjawab, “Mereka itu suka memakan daging manusia, suka membicarakan dan menjelekkan orang lain, mereka inilah orang-orang yang gemar akan ghibah!” (dari Abu Daud yang berasal dari Anas bin Malik ra).

Begitulah Allah mengibaratkan orang yang suka menggibah dengan perumpamaan yang sangat buruk untuk menjelaskan kepada manusia, betapa buruknya tindakan ghibah.

Banyak kesempatan bagi ibu-ibu untuk menggosip. Pada saat berbelanja mengelilingi gerobak tukang sayur, menyuapi anak di halaman, pada acara arisan atau kumpulan ibu-ibu. Menggibah kadang mendapat pembenaran dengan dalih, “Ini fakta, untuk diambil pelajarannya!”. Padahal di balik itu kurang lebih mungkin lebh banyak factor ghibahnya daripada pelajarannya.

Benarkah orang cenderung suka mengghibah, bahkan terkesan menikmati kebiasaan seperti ini? Menurut seorang pengasuh konsultasi keluarga pada sebuah media cetak, mengatakan rahasia mengapa rubriknya tetap disukai pembaca selama puluhan tahun. Katanya, pada diri manusia itu cenderung terdapat sifat suka menggunjingkan orang lain. Orang cenderung ingin tahu masalah yang terjadi pada orang lain. Dengan demikian ia akan merasa beruntung tidak seperti orang lain atau tidak dirinya saja yang menderita. Karena umumnya surat yang datang untuk berkonsultasi adalah mereka yang memiliki masalah.

Jika demikian kebanyakan sifat dari manusia, tentunya kita harus sering melakukan istighfar. Syaitan dengan mudahnya mempengaruhi kebanyakan hati kita sehingga mungkin kita tengah menumpuk dosa akibat pergunjingan.

Setiap orang mempunyai harga diri yang harus dihormati. Membuat malu seseorang adalah perbuatan dosa. “Tiada seseorang yang menutupi cacat seseorang di dunia, melainkan kelak di hari kiamat Allah pasti akan menutupi cacatnya” (HR. Muslim).

Sosialisasi pergunjingan di televisi bagaimanapun harus dihindari. Jangan sampai kita merasa tidak berdosa melakukannya. Bahkan merasa terhibur dengan informasi semacam itu. Kita mesti berhati-hati. Bahaya ghibah harus senantiasa ditanamkan agar kita senantiasa sadar akan bahayanya. Benar kiranya jika dikatakan bahwa dulu orang tinggal di dalam rumah karena menghindari bahaya dari luar. Kini bahaya justru berasal dari dalam rumah sendiri yaitu dengan hadirnya acara yang menurunkan kualitas iman di televisi.


Tips Menghindar Diri Dari Ghibah

Penyakit yang satu ini begitu mudahnya terjangkit pada diri seseorang. Bisa datang melalui televisi, bisa pula melalui kegiatan arisan, berbagai pertemuan, sekedar obrolan di warung belanjaan, bahkan melalui pengajian. Untuk menghindarinya juga tak begitu mudah, mengharuskan kita ekstra hati-hati

1. Berbicara Sambil Berfikir

Cobalah untuk berpikir sebelum berbicara, ‘perlukah saya mengatakan hal ini?’ dan kembangkan menjadi, ‘apa manfaatnya ? Apa mudharatnya?’. Berarti, otak harus senantiasa digunakan, dalam keadaan sesantai apapun. Seperti Rasulullah saw, yang biasanya memberi jeda sesaat untuk berfikir sebelum menjawab pertanyaan orang.

2. Berbicara Sambil Berzikir

Berzikir di sini maksudnya selalu menghadirkan ingatan kita kepada Allah SWT. Ingatlah betapa buruknya ancaman dan kebencian Allah kepada orang yang ber-ghibah. Bawalah ingatan ini pada saat berbicara dengan siapa saja, dimana saja dan kapan saja.

3. Tingkatkan rasa Percaya Diri

Orang yang tidak percaya diri, suka mengikut saja perbuatan orang lain, sehingga ia mudah terseret perbuatan ghibah temannya. Bahkan ia pun berpotensi menyebabkan ghibah, karena tak memiliki kebanggaan terhadap dirinya sendiri sehingga lebih senang memperhatikan, membicarakan dan menilai orang lain

4. Buang Penyakit Hati

Kebanyakan ghibah tumbuh karena didasari rasa iri dan benci, juga ketidakikhlasan menerima kenyataan bahwa orang lain lebih berhasil atau lebih beruntung daripada kita. Dan kalau dirinya kurang beruntung, diapun senang menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih sengsara daripaad dirinya.

5. Posisikan Diri

Ketika sedang membicarakan keburukan orang lain, segera bayangkan bagaimana perasaan kita jika keburukan kita pun dibicarakan orang. Seperti hadis yang menjanjikan bahwa Allah akan menutupi cacat kita sepanjang kita tidak membuka cacat orang lain, sebaliknya tak perlu heran jika Allah pun akan membuka cacat kita di depan orang lain jika kita membuka ` cacat orang.

6. Hindari, ingatkan, diam atau pergi

Hindarilah segala sesuatu yang mendekatkan kita pada ghibah. Seperti acara-acara bernuansa ghibah di televisi dan radio. Juga berita-berita koran dan majalah yang membicarakan kejelekan orang.

Jika terjebak dalam situasi ghibah, ingatkanlah mereka akan kesalahannya. Jika tak mampu, setidaknya anda diam dan tak menanggapi ghibah tersebut. Atau anda memilih hengkang dan ‘menyelamatkan diri’. (Ida S Widayati, penulis tetap rubrik “Jendela Keluarga” Majalah Hidayatullah)

Halal dan Haram dalam Islam
(Fatwa Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi, selaku Ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional)

Ghibah (Mengumpat)

Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:

"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya." (al-Hujurat: 12)

Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut di bawah ini:

"Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, yaitu: Kamu membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia." (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i)

Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya itu dibicarakan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini:

"Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi)

Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya.

Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca.

Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan.

Firman Allah:

"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!" (al-Hujurat: 12)

Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia.

Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging itu telah menjadi bangkai?

Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di dalam hati setiap ada kesempatan untuk itu.

Ibnu Mas'ud pernah berkata:

"Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu." (Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)

Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata:

"Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad dan rawi-rawinya kepercayaan)

Batas Perkenan Ghibah

Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.

Diantara yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya.

Firman Allah:

"Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 148)

Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain karena ada maksud mengadakan hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan suatu urusan yang sangat penting kepadanya.

Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan diri kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.

Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai uang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahwa dia itu tidak mau meletakkan tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan."

Dan termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena bertanya, minta tolong untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut. Misalnya: A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu.

Termasuk yang dikecualikan juga, yaitu menerangkan cacatnya saksi dan rawi-rawi hadis.32

Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:

1. Karena ada suatu kepentingan.
2. Karena suatu niat.

Karena suatu kepentingan

Jadi kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan membicarakan seorang yang tidak hadir dengan sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka tidak boleh berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh memakai takhshish (pengecualian) tersebut.

Misalnya seorang yang sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si Anu."

Semua ini dengan syarat tidak akan membicarakan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau tidak, berarti suatu dosa dan haram.

Karena suatu niat

Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab pribadi manusia itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka niatlah yang dapat membedakan antara perbuatan zalim dan mengobati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan mengoreksi dan antara nasehat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min, seperti dikatakan oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil.

Hukum Islam menetapkan, bahwa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh karena itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.:

"Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan)

"Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)

Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi mulut-mulut yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling minim, yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan lain. Kalau tidak, maka yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:

"Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka" (an-Nisa': 140)

Mengadu Domba

Ketujuh: Kalau ghibah dalam Islam disebut sebagai suatu dosa, maka ada suatu perbuatan yang lebih berat lagi, yaitu mengadu domba (namimah). Yaitu memindahkan omongan seseorang kepada orang yang dibicarakan itu dengan suatu tujuan untuk menimbulkan permusuhan antara sesama manusia, mengotori kejernihan pergaulan dan atau menambah keruhnya pergaulan.

Al-Quran menurunkan ayat yang mencela perbuatan hina ini sejak permulaan perioda Makkah. Firman Allah:

"Dan jangan kamu tunduk kepada orang yang suka sumpah yang hina, yang suka mencela orang, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 10-11)

Dan sabda Rasulullah s.a.w.:

"Tidak masuk sorga orang-orang yang suka mengadu domba." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Qattat, kadang-kadang disebut juga nammam, yaitu seorang berkumpul bersama orang banyak yang sedang membicarakan suatu pembicaraan, kemudian dia menghasut mereka.

Dan qattat itu sendiri, yaitu seseorang yang memperdengarkan sesuatu kepada orang banyak padahal mereka tidak mengetahuinya, kemudian dia menghasut mereka itu.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

"Sejelek-jelek hamba Allah yaitu orang-orang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba, yang memecah-belah antara kekasih, yang suka mencari-cari cacat orang-orang yang baik." (Riwayat Ahmad)

Islam, dalam rangka memadamkan pertengkaran dan mendamaikan pertentangan, membolehkan kepada juru pendamai itu untuk merahasiakan omongan tidak baik yang dia ketahui dari omongan seseorang tentang diri orang lain. Dan boleh juga dia menambah omongan baik yang tidak didengarnya. Seperti yang dikatakan Nabi dalam hadisnya:

"Tidak termasuk dusta orang yang mendamaikan antara dua orang, kemudian dia berkata baik atau menambah suatu omongan baik."

Islam sangat membenci orang-orang yang suka mendengarkan omongan jelek, kemudian cepat-cepat memindahkan omongan itu dengan menambah-nambah untuk memperdaya atau karena senang adanya kehancuran dan kerusakan.

Manusia semacam ini tidak mau membatasi diri sampai kepada apa yang didengar itu saja, sebab keinginan untuk menghancurkan itulah yang mendorongnya menambah omongan yang mereka dengar. Dan jika mereka tidak mendengar, mereka berdusta.

Kata seorang penyair:

Kalau mereka mendengar kebaikan, disembunyikan
Dan kalau mendengarkan kejelekan, disiarkan
tetapi jika tidak mendengar apa-apa, ia berdusta.

Ada seorang laki-laki masuk ke tempat Umar bin Abdul Aziz, kemudian membicarakan tentang hal seseorang yang tidak disukainya. Maka berkatalah Umar kepada si laki-laki tersebut; kalau boleh kami akan menyelidiki permasalahanmu itu. Tetapi jika kamu berdusta, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat ini:

"Jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka selidikilah." (al-Hujurat: 6)

Dan jika kamu benar, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat:

"Orang yang suka mencela, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 11)

Tetapi kalau kamu suka, saya akan memberi pengampunan. Maka jawab orang laki-laki tersebut: pengampunan saja ya amirul mu'minin, saya berjanji tidak akan mengulangi lagi.


Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Tahukah kalian, apa itu ghibah." Mereka menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: "Yaitu, engkau menceritakan saudaramu apa yang tidak ia suka." Ada yang bertanya: Bagaimana jika apa yang aku katakan benar-benar ada pada saudaraku?. Beliau menjawab: "Jika padanya memang ada apa yang engkau katakan, maka engkau telah mengumpatnya dan jika tidak ada,
maka engkau telah membuat kebohongan atasnya." Riwayat Muslim

Dari Abu Darda' Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Barangsiapa membela kehormatan saudaranya tanpa sepengetahuannya,
Allah akan menjaga dirinya dari api neraka pada hari kiamat.
" Hadits hasah riwayat Tirmidzi.

Perkataan yang baik dan pemberian maaf,
lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu
yang menyakitkan (perasaan si penerima).
Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (Al Baqarah 263)

Maka sesuatu yang diberikan kepadamu,
itu adalah kenikmatan hidup di dunia;
dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal
bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal,Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji,
dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. (Asy Syuura:36-37)

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa,
maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik.
maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
(Asy Syuura:40)

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian
kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
(Al Hujurat :12)

Demi masa
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.(Al-Asr 1-3)

Senin, 21 Maret 2011

JANGAN SALAH MENDIDIK

Lembaga pendidikan hanya sebuah sarana dan sekolah hanya sekadar tempat singgah anak untuk menjalani persiapan menuju jenjang pendidikan berikutnya. Namun, sangat disayangkan sebagian lembaga pendidikan ternyata lebih banyak mewarnai perilaku dan tabiat buruk anak. Oleh karena itu, bila sukses dunia-akhirat adalah pertimbangan utama, maka orangtua harus pandai-pandai memilih lembaga pendidikan yang sejalan dengan syariat Islam.

Banyak orang awam dan berkantong tebal salah dalam memilih lembaga pendidikan. Alih-alih mempertimbangkan kebersihan akidah dan keluhuran akhlak bagi anak-anaknya, mereka hanya berorientasi pada keberhasilan di dunia. Alhasil, mereka hanya memilih sekolah favorit yang ternama dan bergengsi walaupun harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Sekolah mahal dipakai sebagai alat pengangkat prestise orangtua, sekadar alat untuk menunjukkan bahwa orangtua mampu menyekolahkan anak di sekolah pilihan orang kaya. Bila sudah begini, janganlah terlalu berharap memiliki anak shalih.

Berikut beberapa contoh kesalahan orang tua dalam memberikan pendidikan buat anak-anaknya:
1. Salah Tujuan
Seringkali orangtua menyekolahkan anak karena malu pada tetangga bila anaknya bodoh atau kalah kecerdasannya, atau khawatir kelak anaknya tidak mendapat pekerjaaan yang layak. Atau, si orangtua hanya ingin agar anaknya nanti menjadi pengawai negeri dan pejabat tinggi yang banyak harta dan hidup mapan. Padahal, orangtua haruslah berangkat dari niat menjalankan
perintah Allah, yaitu memenuhi kewajiban hamba sebagai orangtua yang memang dituntut untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang bertakwa dan shalih, yang menjadi simpanan abadi di akhirat kelak.

Sayangnya, saat ini justru sekolah yang melulu berorientasi pada keberhasilan dunialah yang menjadi prioritas banyak orang awam. Mereka tak memperhatikan apakah terjadi ikhtilat atau tidak. Sehingga kemaksiatan mudah tercipta di sekolah tersebut, karena landasan agama dicampakkan, sementara dunia menjadi tujuan. Lihatlah, di sekolah-sekolah yang ikhtilat,
banyak terjadi kasus zina melalui budaya pacaran, pergaulan bebas, dan asmara buta sehingga kekejian merebak dan perzinahan merajalela.

2. Salah Sekolahan
Bisa jadi orangtua sudah benar dalam niat, tapi karena ilmu agamanya yang minim, ia salah mencarikan lembaga pendidikan bagi anak-anaknya. Misalnya, ia ingin anaknya paham ilmu agama, maka ia main masukkan saja anaknya ke sekolah agama seperti madrasah atau pesantren, tanpa peduli apakah pesantren itu penuh bid’ah atau tidak, dan apakah akidah dan akhlak para santri benar-benar terkontrol.

Harus diakui, saat ini masih ada sekolah Islam yang di situ bercampur-baur antara pelajar laki-laki dengan perempuan, atau kurang memperhatikan sistem pengajarannya, sehingga bercampur antara pelajaran yang syar’i dan bid’ah, bahkan antara ajaran Islam dan ajaran kafir. Alhasil, pemahaman dan efek buruklah yang diterima sang anak. Kelak, ia pun secara sistematis akan tumbuh menjadi generasi dengan pemahaman dan pengamalan Islam yang
menyimpang dari syariat Islam.

3. Salah Teladan
Sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas, keteladan memiliki pengaruh kuat dalam proses pendidikan anak. Perilaku orangtua maupun guru berdampak kuat bagi pembentukan kematangan pribadi sang anak. Teladan yang salah akan membuat anak terdidik di atas kebiasaan buruk dan perilaku negatif. Karena itu, orangtua harus memilih pendidik yang menjunjung tinggi
nilai-nilai akidah dan moral, serta memiliki kelebihan ilmu dan amal dibanding murid-muridnya.

4. Salah Metode Pendidikan
Bisa saja pelajaran yang diberikan kepada sang anak sudah baik, tapi cara penyampaiannya yang tidak tepat, sehingga tujuan dan target pendidikan tidak tercapai, atau anak didik menjadi gagal. Mendisiplinkan anak-anak dengan sanksi kekerasan fisik, misalnya, hanya membentuk anak berwatak keras. Sebaliknya, memberi toleransi yang berlebihan akan membuat anak semakin manja. Anak yang selalu diluluskan permintaan materinya akan tumbuh menjadi anak yang cinta dunia, sementara anak yang biasa diabaikan permintaannya, bisa punya kebiasaan mencuri. Di sekolah, anak hanya dicecar dengan hafalan, tapi kurang diajak memahami suatu permasalahan.
5. Motivasi yang Kurang Tepat
Kesalahan orangtua atau guru dalam memberi motivasi kepada anak didiknya bisa memberi dampak yang kurang baik. Misalnya, mendoromg anak berprestasi dengan hadiah yang menggiurkan, atau memotivasi anak berprestasi agar tidak tersaingi oleh teman-temannya, atau memotivasi anak agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya. Motivasi yang demikian itu akan merusak watak dan pribadi anak, karena anak terdorong bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu bukan karena Allah, melainkan karena ingin berprestasi dan mendapat hadiah yang menggiurkan.
Parahnya lagi, hanya untuk mengejar hadiah yang dijanjikan, si anak bisa saja menghalalkan segala cara, dengan mencontek atau berbuat curang lainnya, yang penting hadiah didapat.

Alhasil, bila dia tidak bisa berprestasi, maka dia akan menjadi orang yang frustasi dan malas belajar, sedangkan pada anak yang didorong agar tidak tersaingi oleh teman-temannya akan timbul sifat angkuh, sombong dan egois. Dan anak yang dimotivasi agar bangga dengan prestasi yang dicapainya, tumbuh menjadi anak yang tidak pandai bersyukur kepada Allah; ia hanya bersemangat menuntut ilmu, tapi kehilangan kendali bila gagal.

6. Membatasi Kreativitas Anak
Ada sebagian orangtua yang membatasi, memaksa dan selalu menentukan kreativitas anak. Ini akan mengekang bakat anak, membuat anak kurang percaya diri, tidak pandai bergaul, dan cenderung memisahkan diri dari teman-temannya. Seharusnya orangtua mengarahkan, membimbing, mendorong dan memberi fasilitas agar anak mengembangkan kreativitasnya sepanjang kreativitas itu tidak melanggar syariat, tidak merugikan dan mengganggu orang lain, dan bermanfaat untuk diri maupun agamanya. Anak yang merasa didukung kreativitasnya akan tumbuh dengan kepala yang penuh ide cemerlang dan menjadi orang yang bertanggung jawab, sekaligus menjadi anak yang bangga dengan orang-tuanya.

7. Membatasi Pergaulan
Kadang, karena tidak ingin anak terpengaruh oleh perilaku buruk teman bergaulnya, orangtua bertindak sangat protektif terhadap anaknya. Bahkan, anak tak boleh “nimbrung” jika orang tuanya sedang menerima tamu. Atau, anak hanya diperbolehkan bergaul dengan teman-teman tertentu yang belum tentu shalih, tapi justru dilarang mendekati temannya yang shalih, paham As-Sunnah dan rajin beribadah.

Sikap orangtua seperti di atas membuat anak menjadi pemalu dan tidak pandai bergaul, atau akan membuat anak mudah merendahkan orang lain yang dianggap tidak selevel dengannya.

Orangtua bijaksana akan mengawasi pergaulan anak-anaknya, tanpa terlalu membatasi tapi juga tidak membiarkan anak bergaul bebas. Orangtua harus selalu mengingatkan dan memantau agar anak bergaul dengan orang-orang shalih, yang paham As-Sunnah, rajin beribadah dan berakhlak mulia serta teman-teman yang bisa memotivasinya menjadi orang yang bermanfaat untuk diri, agama, orang tua dan orang di sekitarnya.

8. Tidak Disiplin dan Kurang Tertib
Ketidakdisiplinan dan kurang tertibnya orang tua dalam mendidik anak akan membuat anak juga tidak disiplin dan tertib dalam menjalani hidupnya. Orangtua dan para pendidik harus menanamkan hidup disiplin dan tertib sejak usia dini sehingga anak terbiasa hidup disiplin dan tertib dalam menunaikan tugas-tugas harian, terutama yang terkait dengan kewajiban agama dan ibadah kepada Allah, tugas rumah dan tugas sekolahan. Anak harus dilatih untuk membiasakan shalat fardhu tepat waktu dan berjemaah di masjid (bagi anak laki-laki), melatih diri untuk berpuasa, serta menaati perintah orangtua dalam kebaikan, bukan dalam kemaksiatan.

Setiap orangtua atau pendidik hendaknya membuatkan jadwal rutin harian, yang berkaitan dengan ibadah, tugas harian maupun tugas sekolah, dan orangtua harus senantiasa mengontrol dan mengawasinya jangan sampai ada yang terlewatkan.

9. Hanya Pendidikan Formal
Sebagian orangtua sudah merasa cukup mendidik anak bila sudah memberi mereka pendidikan formal atau kursus bimbingan belajar. Padahal, kebanyakan lembaga tersebut mengajarkan ilmu keduniaan saja, tanpa memedulikan kebutuhan prinsipil seperti pendidikan akidah, pembinaan akhlak dan pendidikan yang berbasis pada kemandirian. Alhasil, lulus dari pendidikan formal, anak tidak bisa menghadapi realitas dan persaingan hidup. Sebab, kebutuhan ilmu sang anak tidak dapat dipenuhi hanya melalui madrasah saja.

Dengan kata lain, setiap anak harus membekali dirinya dengan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan realitas hidup, perkembangan teknologi, bisnis, informasi, komunikasi, situasi terkini, dunia tumbuhan dan binatang. Dan untuk itu, orangtua haruslah aktif dan selektif dalam memilihkan bacaan, yaitu memilihkan bacaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karenanya, pendidikan non formal, terutama pendidikan agama mutlak diperlukan, karena dengan pendidikan inilah si anak akan dapat menyaring, mana ilmu teknologi, bisnis, komunikasi, dan segala hal yang bermanfaat atau justru berpotensi merusak akidah maupun akhlak seseorang.

10. Kurang Mengenalkan Tanggung Jawab
Orangtua harus menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab yang tinggi pada anak-anaknya akan tugas dan kewajiban mereka, baik yang terkait dengan urusan agama maupun dunia. Masing-masing harus merasa bahwa tugas sekecil apa pun merupakan amanah yang harus diemban dan beban tanggung jawab yang harus dipikul sepenuh kemampuan. Anak harus dilatih untuk lebih dahulu menunaikan kewajiban dari pada menuntut haknya baik hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada sesama manusia terutama kepada orangtua, sanak-kerabat dan teman-temannya.

Orangtua harus mengenalkan kepada anak-anaknya tanggung jawab kepada agama, diri, dan lingkungannya. Bahkan anak harus dikenalkan pada kewajiban zakat, infak dan sedekah, menyantuni anak yatim dan fakir-miskin agar tumbuh rasa tanggung jawab dan sensitivitasnya pada agama dan lingkungan, baik lingkungan rumah maupun sekolah.
11. Khawatir yang Berlebihan
Perasaan takut terhadap keselamatan dan rasa khawatir terhadap masa depan anak merupakan sifat yang wajar ada pada setiap orangtua. Namun, perasaan itu akan berubah menjadi bahaya bila berlebihan dan berubah menjadi was-was akan keselamatan anaknya, bersikap bakhil karena takut beban biaya hidup anaknya tidak terpenuhi, dan mencintai anak secara berlebihan.

Ketakutan seperti itu hanya akan membuat hidup terbebani, tidak percaya dengan takdir, dan mengurangi ketawakalannya kepada Allah. Yang ada nanti hanya perasaan tidak tenang dan khawatir terhadap nasib anaknya. Inilah yang kadang membuat orangtua tidak tega saat melepas anaknya menempuh pendidikan boarding school (pondok) di pesantren. Padahal, setiap orangtua harus menyadari bahwa suatu saat nanti anak akan berpisah dengannya, baik untuk mencari ilmu atau mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarganya setelah menikah kelak.

12. Kurang Sabar dalam Menerima Hasil
Bisa jadi orangtua sudah punya target-target tertentu atas pendidikan anaknya, atau boleh jadi orangtua telah mendidik anaknya untuk mengganti jabatannya atau memegang perusahaannya setelah dia meninggal. Namun, ternyata sang anak mengecewakannya. Bukan karena ia nakal dan membangkang, melainkan karena bakat sang anak tidak sejalan dengan keinginan dan harapan orangtuanya. Akhirnya, kita dengar orang tua mencerca anaknya, “Tinggal belajar saja kok tidak bisa. Makanya, belajar yang betul!”

Padahal, kita semua sadar bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniakan kecerdasan dan kemampuan yang berbeda kepada setiap hamba-Nya. Seharusnya orang tua bersikap bijak. Kewajiban orangtua hanyalah berusaha semaksimal mungkin mengarahkan dan membina anak-anaknya, sedangkan hasilnya, Allah Maha Adil dan Maha Tahu apa yang tetbaik bagi hamba-Nya. Jadi, kenapa orangtua harus kecewa dengan hasil yang tidak sesuai keinginannya? Bukankah lebih baik mengutamakan kesabaran dan keistikomahan dalam mendidik dan mengarahkan anak, daripada terpaku pada hasil akhirnya?

13. Curiga Berlebihan
Orang tua harus bersikap terbuka dan memberi kepercayaan kepada anak. Sikap ini akan memperlancar komunikasi dan interaksi dengan anak maupun anggota keluarga yang lain. Keterbukaan dan kepercayaan juga akan membuat anak mencintai orangtuanya secara tulus dan memandang penuh hormat dan kasih pada keduanya. Sebaliknya, bila orang tua mudah menuduh
tanpa bukti, mencurigai setiap gerak-gerik anak tanpa alasan dan menganggap anak berkhianat kepada orangtuanya, perasaan anak akan tercabik-cabik, kekecewaan tumbuh, dan kemarahan anak kepada orangtua akan tersulut. Apalagi bila anak merasa apa yang dituduhkan kepadanya tidak benar.

Oleh karena itu, orang tua harus berhati-hati dalam menilai anak-anaknya. Jangan mudah curiga dan menuduh anak dengan sesuatu tanpa alasan dan bukti hanya karena kurang cinta atau cemburu. Orang tua juga tidak boleh meremehkan kemampuan dan kelebihan anak dengan menganggapnya masih terlalu kecil.

Di pihak lain, sang anak pun tak boleh mudah memvonis orangtuanya tidak sayang dan membencinya. Seharusnya seorang anak bersabar menghadapi sikap orang tua yang kurang berkenan dan sebaiknya mencari informasi yang sebenarnya kenapa orangtuanya bersikap demikian, dan menghilangkan dendam kepada orangtua karena sikapnya tersebut. Sebab, dendam yang dibiarkan bisa memutus hubungan silaturahim. Maka, pupuklah sikap saling percaya, tumbuhkan empati, dan sikap terbuka dalam menghadapi setiap masalah.

14. Menjauhkan Anak dari Orang Shalih
Kalau tidak bergaul dengan ulama atau orang shalih, pasti kita akan bergaul dengan orang-orang bodoh dan ahli maksiat. Kedekatan dengan para ulama dan orang shalih akan memotivasi anak untuk cinta pada kebaikan, amal shalih, dan lingkungan yang bagus. Siapa yang berkumpul dengan orang-orang baik atau hidup di lingkungan yang baik, akan tertular kebaikannya. Dan siapa yang berkumpul dengan orang-orang buruk atau hidup di lingkungan yang buruk, akan pula terkena getah keburukannya.

Wahai anak shalih yang mendambakan surga, jangan biarkan dirimu bergaul dengan orang buruk berhati serigala, orang munafik, orang fasik dan ahli bid’ah perusak agama. Ingat, orang yang baik akan dikumpulkan bersama orang baik dan orang yang buruk akan berkumpul dengan orang yang buruk. Dan pada Hari Kiamat kelak, seseorang dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.

dari buku:
judul: “Untukmu Anak Shalih”
penyusun: Ust. Zaenal Abidin bin Syamsudin, Lc
penerbit: rumah penerbit al-manar

Rabu, 16 Maret 2011

izinkan Anak Berbuat "Salah"

Kesadaran bahwa kesalahan dan kegagalan adalah manusiawi perlu dimiliki oleh siapapun, termasuk anak. Mendorong dan melatih anak agar memandang kesuksesan dan kegagalan dalam persektif yang benar penting dilakukan. Dalam hal ini orang tua berperan penting. Mendorong anak untuk berhasil tentu saja wajar dan bahkan harus. Namun hal itu perlu diimbangi dengan meneguhkan anak untuk bersikap realistis untuk menerima kegagalan. Orang tua juga perlu berbagi pengalaman bahwa tidak setiap tujuan pasti terwujud meski telah dipersiapkan dengan teliti dan matang.

Ka’ab bin Malik. Ia salah satu sahabat mulia Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ia juga pemuka sahabat kalangan Anshor dari suku Khazraj. Berkali-kali ia membersamai Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam berbagai peperangan, tetapi tidak di perang Tabuk. Ketika sebagian besar sahabat bersiap untuk perang ini, Ka’ab bin Malik tak segera melakukan hal yang sama. Pada akhirnya ia memang tertinggal, tak ikut serta dalam peperangan ini. Karena kesalahan ini, Rasulullah dan sahabat-sahabat lain mengucilkannya beberapa lama hingga akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi kabar gembira: “Berbahagialah dengan hari terbaik yang engkau jumpai semenjak ibumu melahirkanmu.” Itulah kabar tentang diterimanya taubat Ka’ab bin Malik.

Kesalahan dan kegagalan sesungguhnya merupakan bagian dari perjalanan hidup karena kita memang tidak sempurna. Siapapun bisa melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan, termasuk sahabat Ka’ab bin Malik sebagaimana dikisahkan di atas. Bahkan Nabi Adam pun pernah berbuat salah. Benar sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah bahwa setiap bani Adam berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat.

Kesalahan dan kegagalan sesungguhnya melekat pada proses keberhasilan. Thomas Alfa Edison misalnya. Ia berhasil menemukan lampu pijar setelah melakukan 9.999 kali percobaan. Kegagalan dan kesalahan tersebut tidak menjadikannya putus asa. Justeru ia mengatakan bahwa dengan begitu ia mengetahui ribuan cara agar lampu tidak menyala. Sikap realistis inilah
yang tampaknya menopang kesuksesan Thomas Alfa Edison. Ia menerima kesalahan dan kegagalan sebagai sesuatu yang wajar dan menjadikannya titik tolak untuk maju dan berkembang.

Berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan dan khawatir mengalami kegagalan tentu saja wajar. Namun, ketika kekhawatiran itu sangat berlebihan sehingga menghalangi untuk bertindak apapun, tentu tidak wajar. Inilah yang mungkin secara tidak sadar dilakukan orang tua yang sangat protektif kepada anaknya.

Lihatlah bagaimana orang tua dengan segera memegang sang anak yang sedikit terhuyung ketika sang anak baru berlatih berjalan. Lihat pula bagaimana orang tua segera mengatakan “Nak, jangan pilih warna itu, tidak cocok, Gunakan yang ini saja” ketika anak belajar mewarnai.

Orang tua sering begitu protektif dan tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba berbagai hal dalam proses belajar mereka karena begitu khawatir anak melakukan kesalahan.

Tak disangsikan bahwa perilaku demikian didasari oleh rasa sayang mereka. Namun, perilaku demikian berpotensi meneguhkan keyakinan pada diri anak bahwa melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan adalah tabu. Akibatnya anak cenderung menghindari tindakan apapun yang dipandangnya dapat menyebabkan kegagalan. Akibat selanjutnya bisa diduga bahwa hal itu akan membatasi mereka untuk berkreasi dan berkembang.

Kesadaran bahwa kesalahan dan kegagalan adalah manusiawi perlu dimiliki oleh siapapun, termasuk anak. Mendorong dan melatih anak agar memandang kesuksesan dan kegagalan dalam persektif yang benar penting dilakukan. Dalam hal ini orang tua berperan penting. Mendorong anak untuk berhasil tentu saja wajar dan bahkan harus. Namun hal itu perlu diimbangi dengan
meneguhkan anak untuk bersikap realistis untuk menerima kegagalan. Orang tua juga perlu berbagi pengalaman bahwa tidak setiap tujuan pasti terwujud meski telah dipersiapkan dengan teliti dan matang.

Di kelas, guru juga berperan penting untuk menumbuhkan kesadaran dan keyakinan bahwa melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan adalah manusiawi. Bagaimana caranya? Sesekali guru perlu mengisahkan tokoh-tokoh hebat yang dalam kisah suksesnya juga pernah melakukan
kesalahan dan mengalami kegagalan. Kisah Ka’ab bin Malik dan Thomas Alfa Edison di atas dapat dijadikan contoh. Guru juga perlu memberikan rasa aman bagi anak untuk mencoba hal-hal baru dalam proses belajar mereka tanpa kekhawatiran akan dicerca jika melakukan kesalahan. Guru perlu meyakini bahwa anak .akan belajar dengan cepat jika mereka berada dalam
lingkungan yang menerima terjadinya kesalahan. Guru sebaiknya menghindari komentar atau pertanyaan yang bersifat negatif seperti: “bagaimana bisa kamu melakukan kesalahan seperti itu?” atau “kamu tidak mendengarkan saya ya… sehingga bisa salah seperti ini?”

Dalam kegiatan pembelajaran, guru seharusnya tidak bersegera memberikan rumus formal kepada anak untuk menyelesaikan suatu soal. Anak perlu diberikan kebebasan untuk melakukan eksplorasi dan menemukan cara mereka sendiri tanpa khawatir akan dicerca jika melakukan kesalahan. Hal ini akan mendorong anak berpikir kreatif dengan melihat berbagai kemungkinan
cara menyelesaikan soal. Mungkin saja cara mereka lebih kreatif dan lebih mudah dipahami, setidaknya oleh mereka sendiri. Namun, mungkin juga anak akan mengalami kesulitan dan menemui jalan buntu. Terhadap hal ini guru hendaknya membimbing mereka untuk mengenali kesalahan mereka dan memanfaatkannya untuk proses belajar mereka. Cara demikian akan memberikan pengalaman dan kemampuan berharga kepada anak. Pengalaman dimaksud adalah pengalaman menghadapi masalah, bukan menghindarinya, dan secara bebas berusaha menyelesaikannya tanpa takut gagal. Pengalaman demikian sangat penting bagi anak mengarungi kehidupannya kelak.

Membelajarkan anak agar menyadari bahwa melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan adalah manusiawi memerlukan proses. Hal itu perlu dilakukan secara berkelanjutan sehingga anak memiliki perspektif yang benar dan berimbang dalam memandang keberhasilan dan kegagalan.

dari:
Izinkan Anak Berbuat “Salah”: Ali Mahmudi,Dosen Matematika Universitas Negeri Yogyakarta.
Fahma Vol.7 No.2, Februari 2010, hal. 14-15.

Wahai Anakku Kami Menginginkan Pahala Itu

Ya Bunayya,..engkau buah hati kami. Padamu tergantung masa depan kami. Dunia kami dan akhirat kami. Hilang letih dan lelah kami ketika melihat engkau beranjak dewasa tumbuh dengan akhlak mulia. Wahai anakku,… engkau hidup di penghujung zaman yang semakin banyak kerusakan dan fitnah yang menyambar setiap detik nafasmu. Jikalah tidak engkau bergantung pada Zat Yang Maha Kuat dan Kuasa pada siapa lagi engkau kan berlari.

Kami tidak perduli melihat para orang tua yang sibuk memilih dunia untuk belahan jiwa mereka. Yang berkorban dengan apa saja agar anak-anaknya berhasil meraih pangkat dan kedudukan di hati manusia. Yang bila mana kami lupa memanggil anaknya dengan nama biasa, maka mereka akan segera tergesa-gesa meralat,.. maaf anak kami adalah seorang dokter panggillah nama depannya dengan jabatannya.

Duhai penyejuk hati yang gundah,… kami menginginkan dunia hanya sebagai bekal untukmu menuju akhirat yang abadi. Karena itu kami tidak kecewa bila mendapati nilai C pada matematikamu atau fisikamu. Tetapi sungguh kami akan menangis dan berduka bila engkau lalai pada perintah Rabbmu.

Duhai penyejuk mata,…. di hari yang semakin mendekati kepunahan. Tak lelah kami mendidikmu dengan Al-Qur’an. Betapa engkau sangat kami inginkan menjadi penghafal dan pengamal Al Qur’an. Siang malam kami bersabar dan tak kecewa membetulkan bacaanmu yang yang tertatih-tatih dan terlupa dari satu ayat Al-Qur’an.
Demikian pula doa senantiasa kami panjatkan untuk kalian agar Allah memberi kemudahan.

Untukmu bunayya,… bersabarlah di hari yang sulit ini. Sungguh engkau akan menikmati jerih payahmu
ketika dewasa nanti.Janganlah engkau lupakan kami dalam doamu .Semoga Allah di kemudian hari, memberi kelapangan pada kubur kami yang sempit nanti.

Ya bunayya,…. engkau pasti kan bertanya, mengapa orang tua kami melakukan hal ini untuk kami? Jawabnya,… karena ia adalah suatu kebiasaan yang telah di wariskan oleh para pendahulu kita(salafus shalih).
Begitu pula telah kami dapati dalam ucapan Nabimu yang mulia shalallahu alaihi wassalam diriwayatkan dari Buraidah bin Hushaib radhiyallahu anhu ia berkata: “Pernah ketika aku sedang berada di sisi Rasulullah shalallahu alaihi wassalam maka aku pernah mendengar beliau bersabda,

“Al-Qur’an itu akan menemui ahlinya pada hari kiamat ketika kubur telah terbelah seperti seorang laki-laki yang berwajah putih berseri. Ia berkata pada laki-laki tadi,”Apakah kamu mengenaliku?” dia menjawab,”Aku tidak mengenalimu” Ia berkata,”Aku adalah temanmu, Al-Qur’an yang dulu selalu membuat kering tenggorokanmu di siang hari dan begadang di malam hari. Dan setiap pedagang tentulah mengharapkan keuntungan dari barang dagangannya, dan kamu pada hari ini mendapatkan keuntungan dari usahamu.”Kemudian di berikan untuknya kerajaan di tangan kanannya dan keabadian (surga) ditangan kirinya, di letakkan mahkota kebesaran di kepalanya, dan dikenakan bagi kedua orangtuanya dua pakaian (teramat indah) yang belum pernah dikenakan oleh penduduk bumi. Keduanya berkata: ”Dengan amalan apa kami bisa memperoleh pakaian seperti ini?” Dikatakan: “Dengan (kesabaran)mu dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anakmu” Kemudian diperintahkan kepadanya, Bacalah (Al-Qur’an) dan naikilah tangga-tangga surga dan masuklah ke kamar-kamarnya” Maka dia terus naik (derajatnya) selama dia membacanya dengan cepat atau dengan cara tartil (perlahan-lahan)” (HR. Ahmad)1

Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang marfu’ (sampai) kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam beliau bersabda,

“…. dan dikenakan kepada kedua orangtuanya dua pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia dan seisinya. Keduanya berkata, “Ya Rabb, Bagaimana kami bisa mendapatkan balasan seperti ini !! dikatakan :”Dengan mendidik Al-Qur’an kepada anak-anakmu” (HR. Ath-Thabrani).2

Wahai bunayya,.. betapa kami menginginkan pahala itu. Kami-pun menyadari tidaklah mudah untuk mendapatkannya. Karena memang segala sesuatu harus diraih dengan kerja keras yang gigih dan kesabaran yang tak bertepi. Lelah dan letih kami akan di hargai-Nya karena Allah Yang Maha Mulia telah berfirman:

“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (39) dan bahwasanya usahanya itu kelak akan di perlihatkan kepadanya (40) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (41). (An-Najm :39-41).

Sungguh kami yakin wahai bunayya,… jika sekiranya para orangtua mengetahui keutamaan dan kedudukan yang tinggi di sisi-Nya karena mengajarkan Al-Qur’an pada buah hati mereka, niscaya mereka akan berlomba-lomba untuk mengajarkan anak-anaknya Al-Qur’an, membimbing mereka untuk selalu membaca, menghayati maknanya dan mengamalkannya dalam kehidupan yang fana ini.

Sumber bacaan :

1. Tafsir Ibnu katsir jilid 9 , Pustaka Imam ASy-Syafi’i, Jakarta, 2008.
2. Keagungan Al-Qur’an Al-karim, Syaikh Mahmud Al Dosari, Maktabah Darus salam, Riyadh, 2006.

Murajaah oleh : Ustadz Eko Hariyanto Lc(Abu Ziyad)

1. Hadits riwayat Ahmad dalam kitab Al-Musnad,
5/238 [↩]
2. Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam kitab Al Ausath, 6/51, hadits no.5764. Syaikh Al-Bani menyebutkan hadits ini dalam kitab Silsilah Hadits Shahih, 6/792, hadits no.2829. [↩]

DO'A DARI 70 RIBU MALAIKAT !!

Tiada seorang muslim pun yang membesuk saudaranya yang sakit, melainkan Allah mengutus baginya 70.000 malaikat agar mendoakannya kapan pun di siang hari hingga sore harinya, dan kapan pun di sore hari hingga pagi harinya. (musnad ahmad 2/110, syaikh ahmad syakir mengatakan bahwa sanadnya shahih).

Syaikh Ahmad Abdurrahman al Banna dalam syarahnya menjelaskan, ‘Shalawat malaikat bagi anak adam ialah dengan mendoakan agar mereka diberi rahmat dan maghfirah. Sedang yang dimaksud dengan ‘kapanpun di siang hari’ yakni waktu ia menjenguk. Jika ia menjenguknya di siang hari, maka malaikat mendoakannya hingga sore hari dan bila ia menjenguknya di malam hari, maka malaikat mendoakannya hingga pagi. Oleh karena itu, orang yang berniat hendaknya berangkat sepagi mungkin di awal siang, atau bersegera begitu malam menjelang, agar semakin banyak didoakan malaikat.

‘Siapa yang membesuk orang sakit di pagi hari akan diiring oleh 70.000 malaikat, semuanya memohonkan ampun untuknya hingga sore hari, dan ia mendapat taman di jannah. Jika ia membesuknya di sore hari, ia akan diiring oleh 70 ribu malaikat yang semuanya memintakan ampun untuknya hingga pagi, dan ia mendapat taman di jannah.’ (musnad ahmad 2/206, hadits 975. Syaikh ahmad syakir menilai hadits ini shahih)

AKU SAKIT, TETAPI KAMU TIDAK MENJENGUK-KU!

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pada hari kiamat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

‘Hai Anak Adam, Aku Sakit, tetapi kamu tidak menjenguk-Ku.’

Dia berkata. ‘Wahai Rabb-ku, bagaimana saya menjenguk-Mu, padahal Engkau adalah Rabb semesta alam?!’

Dia berfirman, ‘Tidak tahukah kamu bahwa hamba-Ku, fulan, sakit, tetapi kamu tidak menjenguknya. Tidak tahukah kamu jika kamu menjenguknya, kamu akan mendapati Aku berada di sisi-Nya.’

(diriwayatkan oleh Muslim, no. 2569)

HUKUM MENJENGUK ORANG SAKIT

Menjenguk orang sakit diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Bara bin Azib radhiyallahu anhu meriwayatkan, “Nabi menyuruh kita tujuh hal dan melarang kita tujuh hal. Beliau menyuruh kita untuk mengantarkan jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhiundangan, menolong orang yang teraniaya, melaksanakn sumpah, menjawab salam, dan mendoakan orang yang bersin. Dan beliau melarang kita memakai wadah (bejana) dari perak, cincin emas, kain sutera, dibaj (sutera halus), qasiy (sutera kasar), dan istibraq (sutera tebal). (Bukhari no.1239; Muslim no.2066)

Hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk menjenguk orang sakit, membuat Imam Bukhari membuat “bab Wujubi ‘Iyadatil-Maridh” (Bab Kewajiban Menjenguk Orang Sakit) di dalam kitab shahih nya.

Imam Ath Thabari menekankan bahwa menjenguk orang sakit merupakan kewajiban bagi orang yang diharapkan berkah (dari Allah datang lewat diri) nya, disunnahkan bagi orang yang memelihara kondisinya, dan mubah bagi mereka.

Imam Nawawi mengutip kesepakatan ulama bahwa menjenguk orang sakit hukumnya bukan wajib, yakni wajib ‘ain, (melainkan wajib kifayah).

MANFAAT MENJENGUK ORANG SAKIT

Selain mendapat keutamaan sebagaimana hadits-hadits yang disebutkan diatas, menjenguk orang sakit memiliki beberapa manfaat, diantaranya:

1.

Menjenguk orang sakit berpotensi memberi perasaan dan kesan kepadanya bahwa ia diperhatikan orang-orang disekitarnya, dicintai, dan diharapkan segera sembuh dari sakitnya. Hal ini dapat menentramkan hati si sakit.
2.

Menjenguk orang sakit dapat menumbuhkan semangat, motivasi, dan sugesti dari pasien; hal ini dapat menjadi kekuatan khusus dari dalam jiwanya untuk melawan sakit yang dialaminya. Dalam dirinya ada energi hebat untuk sembuh.
3.

mencari tahu apa yang diperlukan si sakit.
4.

mengambil pelajaran dari penderitaan yang dialami si sakit.
5.

mendoakan si sakit
6.

melakukan ruqyah (membaca ayat-ayat tertentu dari Al Quran) yang syar’i.

MESKI SAKIT RINGAN, TETAP DIJENGUK!

Hadits-hadits yang ada, menyuruh dan mengajurkan untuk menjenguk orang sakit, baik yang sakit kecil maupun dewasa, anak-anak maupun orang tua, dari kaum laki-laki maupun wanita. Sakit ringan maupun berat. Yang sakit terpelajar atau bukan, orang kota maupun desa, pejabat maupun rakyat jelata, miskin maupun kaya, mengerti makna menjenguk orang sakit atau pun tidak.

Menjenguk orang sakit tetap dianjurkan, bahkan terkadang, dalam kondisi tertentun menjadi wajib, tanpa melihat bentuk penyakit tersebut, apakah tergolong parah atau ringan. Hal ini sudah mulai memudar di antara kita, bahkan seringkali sebagian kita hanya merasa perlu menjenguk teman, saudara, atau kenalan yang sakit; jika sudah masuk rumah sakit. Sekian lama terbaring di rumah, hanya sedikit yang menjenguknya. Apalagi jika penyakit tersebut digolongkan penyakit ringan. Padahal, nabi shallallahu alaihi wa sallam menjenguk salah seorang sahabatnya yang ‘hanya’ sakit mata. Sakit mata biasa, bukan sejenis kebutaan atau penyakit mata berat lainnya!

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, ‘mengenai menjenguk orang yang sakit mata, bahkan sudah ada hadits khusus yang membicarakannya, yaitu hadits Zaid bin Arqam, dia menceritakan, ‘Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjenguk saya karena saya sakit mata.’ (lihat adabul mufrad, no.532)

MENJENGUK LAWAN JENIS?

Wanita boleh menjenguk laki-laki yang sedang sakit, ataupun sebaliknya; meskipun bukan mahramnya. Akan tetapi, hal ini dengan syarat aman dari fitnah, menutup aurat, dan tidak terjadi khalwat (berduaan dengan lawan jenis).

Aisyah radhiyallahu anha meriwayatkan, Ketika Rasulullah shallalallahu alaihi wa sallam tiba di madinah, Abu Bakar dan Bilal terserang demam. Kemudian, kata Aisyah, aku menemui mereka dan bertanya, ‘Ayah, bagaimana keadaanmu?’ ‘Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?” (HR. Bukhari no.5654)

Ibnu Syihab meriwayatkan dari Abu Umamah bin Sahal bin Hanaif, ‘Bahwa dirinya diberitahu bahwasanya ada seorang wanita miskin yang sedang sakit. Kemudian Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pun diberitahu tentang sakitnya wanita tersebut. Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dahulu suka menjenguk orang-orang miskin dan menanyakan keadaan mereka.” (HR. Malik, Al Muwaththo’ no.531)

BOLEHKAN MENJENGUK ORANG MUSYRIK?

Menjenguk orang kafir oleh sabagian ulama dihukumi makruh. Hal ini dikarenakan: secara implisit (tidak langsung) merupakan penghormatan kepada mereka. (lihat At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar, 24/276).

Namun sebagia ulama yang lain berpendapat bolehnya menjenguk orang kafir apabila ada harapan untuk masuk islam. Pendapat ini lebih dekat kepada apa yang dilakukan oleh Rasullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Anas bin Malik meriwayatkan, ‘Bahwasanya ada seorang anak muda Yahudi yang pernah menjadi pembantu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dia sakit, lalu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam datang menjenguknya. Kemudian beliau bersabda, ‘Masuklah Islam!” Maka dia pun masuk Islam.” (HR. Bukhari no.5657)

Sa’id bin Musayyib meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata, ‘Ketika Abu Thalib hendak dijemput kematian. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendatanginya seraya bersabda, ‘Ucapkanlah ‘Laa ilaaha illa Allah’ sebuah kalimat yang bisa aku jadikan sebagai hujjah untukmu di sisi Allah kelak.’ (HR. Bukhari no.6681)

KAPAN WAKTU MENJENGUK ORANG SAKIT?

Tidak ada keterangan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menerangkan waktu-waktu tertentu untuk menjenguk orang sakit. Oleh karena itu, dapat dilakukan kapan saja, selama tidak merepotkan si sakit dan keluarganya.

Salah satu alasan menjenguk orang sakit adalah meringankan penderitaan si sakit dan memberinya dukungan moral, sehingga sangat tidak bijaksana jika kedatangan kita malah merepotkan yang bersangkutan.

Waktu yang tepat untuk menjenguk berbeda-beda pada setiap keadaan. Berbeda-beda dari waktu ke waktu dan antara satu tempat dengan tempat lainnya. Oleh karena itu, kita harus jeli mencari waktu yang pas untuk menjenguk, mampu memperkirakan kondisi si sakit & keluarganya (sedang beristirahat atau tidak, sedang banyak tamu atau tidak, dan lain sabagainya).

PERSINGKAT WAKTU KUNJUNGAN!

Hendaknya kita memperhatikan waktu ketika menjenguk orang sakit. Jangan sampai terlalu lama, karena hal ini bisa membebani bahkan menambah penderitaan si sakit ataupun keluarganya.

Ibnu Thowuss mengatakan bahwa ayahnya pernah berkata, ‘Sebaik-baik kunjungan kepada orang sakit ialah yang paling singkat.’

Asy-Sya’bi mengatakan, ‘Kunjungan orang dungu lebih berat dirasakan oleh keluarga si sakit daripada sakitnya salah seorang angota keluarga mereka. Yaitu, orang yang datang menjenguk pada waktu yang tidak tepat dan duduk terlalu lama.’ (lihat At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar, 24/277)

Namun, apabila si sakit suka berlama-lama dengan penjenguknya, dan ingin dikunjungi sesering mungkin, maka sebaiknya keinginan tersebut dikabulkan oleh si penjenguk. Sebab, hal ini berarti memberikan kegembiraan dan dukungan moral kepada si sakit.

Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terhadap Sa’ad bin Mu’adz sewaktu ia menjadi korban perang Khandaq. Ketika itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan agar Sa’ad dibuatkan kemah di dalam masjid agar beliau bisa menjenguknya dari dekat. Sahabat mana yang tidak suka ditunggui oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan dikunjungi berulang kali? (lihat Bukhari no.463)

BERAPA KALI MENJENGUK SESEORANG?

Hal ini dikembalikan kepada kebiasaan, kondisi penjenguk, kondisi si sakit, berapa jauh hubungan yang bersangkutan dengan si sakit.

Orang yang lama jatuh sakit, maka dia dijenguk dari waktu ke waktu, dalam hal ini tidak ada batasan waktu tertentu.

MENJENGUK ORANG YANG PINGSAN ATAU KOMA

Orang sakit yang dapat merasakan kehadiran kita dan yang tidak dapat merasakan kehadiran kita (misalnya karena pingsan atau koma), sama-sama memiliki hak untuk dijenguk. Janganlah kita enggan menjenguknya, dengan alasan, toh…mereka tidak tahu dijenguk atau tidak…mereka tidak dapat merasakan kehadiran kita.

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, ‘Anjuran menjenguk orang sakit tidak hanya ditujukan agar si sakit mengetahui penjenguknya. Sebab, di balik kunjungan itu ada dukungan moral kepada keluarganya, harpaan mendapatkan berkah dari doa penjenguk, sentuhan tangannya kepada si sakit, meniupkan bacaan mu’awwidzat, dan lain-lain.’ (Fathul baari, 10/119)

DIMANA POSISI DUDUK PENJENGUK?

Orang yang menjenguk, dianjurkan duduk di dekat si sakit.

‘Adalah nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika menjenguk orang sakit, beliau duduk di sisi kepalanya.’ (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, no.536, hadits shahih)

Diantara manfaat duduk di sisi kepala si sakit: memberi rasa akrab kepada si sakit, dan memungkinkan bagi penjenguk untuk menyentuh si sakit, memanjatkan doa untuknya, meniupnya dengan ruqyah, dan lain sebagainya.

MENANYAKAN KEADAAAN SI SAKIT

Ada baiknya kita menanyakan keadaan si sakit, sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah Radhiyallahu Anha, Ketika Rasulullah shallalallahu alaihi wa sallam tiba di madinah, Abu Bakar dan Bilal terserang demam. Kemudian, kata Aisyah, aku menemui mereka dan bertanya, ‘Ayah, bagaimana keadaanmu?’ ‘Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?” (HR. Bukhari no.5654)

JANGAN PAKSA SI SAKIT BERCERITA PANJANG LEBAR!

Diantara maksud mengunjungi si sakit adalah untuk meringankan kan penderitaannya, oleh karena itu jangan sampai membebani bahkan menambah penderitaan si sakit ataupun keluarganya.

Satu hal yang dapat membebani si sakit atau keluarganya adalah pertanyaan kronologis musibah atau penyakit. Si sakit atau keluarga diminta untuk menceritakan kronologis kejadian yang cukup panjang; dan repotnya lagi, cerita ini harus diceritakan berulang kali karena hampir setiap pembesuk menanyakan, ‘awal mulanya bagaimana?’ ; ‘kejadiannya bagaimana?’

HIBUR & BERIKAN HARAPAN SEMBUH!

Ada baiknya penjenguk menghibur si sakit atau keluarga si sakit dengan pahala-pahala yang akan di dapat mereka.

‘Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan Allah hapuskan berbagai kesalahannya, seperti sebuah pohon meruntuhkan daun-daunnya.’ (HR. Muslim)

‘Cobaan itu akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya, ataupun pada hartanya, sehingga ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun.’ (HR. Tirmidzi)

‘Saat orang-orang tertimpa musibah diberi pahala di hari kiamat nanti, orang-orang yang selamat dari berbagai musibah tersebut berharap seandainya dahulu di dunia kulit mereka dikerat dengan gergaji besi…’ (HR. Tirmidzi)

Ada baiknya pula penjenguk memberikan harapan sembuh kepada si sakit. Misalnya dengan mengatakan. ‘Tidak perlu kuatir, insya Allah Anda akan sembuh.’ atau ‘penyakit ini tidak berbahaya, Anda akan segera sembuh,insya Allah.’ atau kalimat-kalimat lain yang dapat menumbuhkan semangatnya untuk sembuh.

JANGAN MENAKUT-NAKUTI!

Apa yang kita sampaikan kepada si sakit maupun keluarganya, harus kita perhatikan benar-benar. Ucapkanlah kalimat-kalimat yang baik, yang dapat menumbuhkan motivasi atau meringankan musibah yang dialami mereka. Jangan sampai apa yang kita sampaikan malah menimbulkan rasa takut & cemas terhadap si sakit maupun keluarganya.

Diantara yang dapat menimbulkan rasa takut adalah cerita atau kabar bahwa seseorang mengalami hal yang sama, namun berakhir dengan cacat seumur hidup, dengan kematian….; kalau maksud yang bercerita adalah agar keluarga si sakit berhati-hati dan waspada terhadap musibah yang diderita si sakit, alangkah baiknya jika di kemas dengan kalimat-kalimat yang baik.

MEMAHAMI KELUHAN SI SAKIT

Keluhan yang diucapkan si sakit ada dua kemungkinan:

Pertama, diucapkan sebagai ekspresi kekesalan dan kejengkelan. Hal ini tentnu saja dilarang oleh agama Islam, karena merupakan indikator lemahnya keyakinan dan tidak rela terhadap qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila kita mendengar keluhan semacam ini, si sakit segera diingatkan, dinasehati dengan cara yang baik.

Kedua, diucapkan dalam rangka memberi informasi tentang dirinya tanpa mengharap belas kasih kepada makhluk dan tidak pula menggantungkan harapan kepada mereka. Hal ini tentu saja boleh dilakukan, bahkan didukung oleh dalil syari:

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:

‘Aku pernah menghadap Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, sementara beliau sedang menderita demam. Lalu aku menyentuhnya dengan tanganku, kemudian aku mengatakan, ‘Sungguh, Engkau menderita demam yang sangat berat.’ Beliau menjawab, ‘Ya, seperti layaknya demam yang diderita oleh dua orang dari kalian.’ ‘Engkau mendapat dua pahala?’ tanya Ibnu Mas’ud. Beliau menjawab ,’Ya. Tidaklah seorang muslim mengalami penderitaan -sakit dan sebagainya- melainkan Allah akan merontokkan keburukan-keburukannyaa sebagaimana pohon merontokkan daunnya.” (HR. Bukhari no.5667)

MENANGIS DI TEMPAT ORANG YANG SAKIT?

Yang nampak dari kita, hukumnya boleh. Sebab, Abdullah bin Umar meriwayatkan,

‘Sa’ad bin Ubadah pernah mengeluhkan sakit yang di deritanya, kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam datang menjenguknya bersama dengan Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Mas’ud. Ketika beliau menemuinya, beliau mendapatinya sedang dikerumuni oleh keluarganya. Lalu beliau bertanya, ‘Apakah dia sudah meninggal?’ Mereka menjawab, ‘Tidak ya Rasulullah!’ Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menangis, dan ketika orang-orang melihat tangisan nabi, maka mereka pun menangis. Lalu beliau bersabda, ‘Tidakkah kalian mendengar, sesungguhnya Allah tidak mengadzab karena linangan air mata maupun kesedihan hati, melainkan mengadzab karena ini -dan beliau menunjuk ke arah lidahnya- atau Dia berbelas kasih. Dan sesungguhnya mayit itu akan disiksa karena tangisan keluarganya yang meratapi (kepergian) nya.’ (HR. Bukhori no.1304)

MENDOAKAN SI SAKIT

Orang yang menjenguk orang sakit hendaknya tidak berkata-kata kecuali sesuatu yang baik. Sebab para malaikat akan mengamini apa yang akan diucapkannya.

Dari Ummu Salamah, doa mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

‘Apabila kamu mendatangi orang sakit atau mayit, maka ucapkanlah kata-kata yang baik. Karena sesungguhnya malaikat mengamini apa yang kamu ucapkan.’ Kemudian, kata Ummu Salamah, ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku pun mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam seraya mengatakan, ‘Ya Rasulullah, Abu Salamah sudah meninggal dunia.’ Beliau lantas bersabda, ‘Ucapkanlah: Ya Allah, ampunilah aku dan dia, dan berilah aku pengganti yang baik.‘ Ummu Salamah berkata, ‘Lalu aku mengatakannya. Kemudian Allah memberiku pengganti yang lebih baik bagiku daripada dia (Abu Salamah), yakni Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.’ (HR. Muslim no.919)


Orang yang menjenguk orang sakit dianjurkan berdoa agar si sakit diberikan rahmat, ampunan, kebersihan dari dosa, keselamatan, dan kebebasan dari penyakit. Diantara doa yang pernah dibaca oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam:

1. Mengucapkan: “Laa ba’sa thohuurun in syaa’allooh.” ‘tidak mengapa, semoga dapat membersihkan kamu (dari dosa) insya Allah.’ (riwayat Bukhari dalam al fath: 10/118)

Kata ‘tidak mengapa’ maksudnya ialah bahwa sakit itu dapat menghapus kesalahan. Jika mendapat kesembuhan setelah sakit, maka berarti mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Dan jika tidak, maka akan mendapatkan keuntungan berpa penghapusan dosa.

2. Membaca doa: “ As alukalloohal-’azhiima, robbal ‘arsyil-’azhiimi, ayyasyfiyaka.” (7x) “Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung, Rabb ‘Arsy yang agung agar menyembuhkanmu.”

‘Tidak ada seorang muslim yang menjenguk seorang yang sedang sakit yang belum sampai kepada ajalnya, lalu dia membacakan doa As alukalloohal-’azhiima, robbal ‘arsyil-’azhiimi, ayyasyfiyaka tujuh kali, kecuali dia akan sembuh.’ (Shahih At Tirmidzi: 2/210)

RUQYAH KEPADA SI SAKIT

Orang yang menjenguk orang sakit dianjurkan untuk melakukan ruqyah terhadapnya. Terutama kalau si penjenguk termasuk orang yang bertakwa dan shalih. Karena ruqyah yang dilakukannya akan memberikan manfaat yang lebih besar daripada orang lain (karena faktor ketakwaan & keshalihannya tersebut).

Di antara ruqyah syariah yang ada:

1. Ruqyah dengan mu’awwidzatain (surat al ikhlas, al falaq, dan an naas)

‘adalah rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika salah satu dari keluarganya sakit, beliau meniup keluarganya dengan (bacaan) mu’awwidzat…’ (HR. Muslim no.2192)

2. Ruqyah dengan surat al fatihah

Hal ini pernah dilakukan oleh Abu Said al Khudri terhadap kepala suku yang tersengat serangga. (lihat HR. Muslim no.2201)

3. Ruqyah dengan doa

‘Adalah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika salah seorang dari kami mengeluh sakit, maka beliau mengusapnya dengan tangan kanannya, kemudian beliau mengucapkan: “Hilangkanlah penderitaan ini wahai Rabb manusia. Sembuhkanlah, karena Engkaulah yang Maha Menyembuhkan. Tiada kesembuhan melainkan kesembuhan-Mu. Kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Muslim no.2191)

KARANGAN BUNGA?

Ada sebagian orang yang ketika mengunjungi orang sakit selalu menyempatkan diri untuk membawa karangan bunga kepada si sakit. Ada pula yang menelipkan tulisan yang berisi ungkapan dan harapan agar lekas sembuh. Hal ini dilarang, karena:

1.

tradisi semacam ini berasal dari agama lain, padahal kita dilarang untuk menyerupai perilaku mereka.
2.

mengganti doa untuk si sakit agar diberikan kesucian, rahmat, ampunan, dan kesehatan dengan ungkapan-ungkapan kering dan harapan-harapan yang tidak bisa dimajukan atau diundur.
3.

mengganti ruqyah yang syari melalui bacaan ayat-ayat al quran maupun hadits dengan karangan bunga yang barangkali akan layu sehari atau dua hari kemudian.

MEMBACAKAN SURAT YASIN?

Ada sebagian orang yang membacakan surat yasin kepada orang yang sakit, terutama jika si sakit sudah sangat parah, koma, atau jika dalam keadaan menjemput ajal.

Mereka berdasarkan pada:

“Tidak seorang pun yang akan mati, lalu dibacakan buatnya surat yasin, kecuali pasti diringankan/dimudahkan kematiannya.”

Keterangan:

hadits ini derajatnya “Maudhu/palsu”, diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalan Akhbar al Asbahan 1/188, di dalamnya ada seorang perowi yang suka memalsukan hadits yang bernama ‘Marwan bin Salim Al Jazari’. Imam Bukhori dan Muslim mengatakan bahwa Marwan bin Salim dalam meriwayatkan hadits tergolong ‘MUNGKARUL HADITS’ (lihat: Mizanul I’tidal 4/90).

“Bacakanlah surat Yasin untuk orang-orang yang akan mati di antara kamu.”(Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa’i. Derajat hadits Dhaif.)

Karena hadits-hadits di atas adalah dhaif & maudhu/palsu, maka pembacaan surat yasin untuk orang-orang yang akan mati tidak dapat diamalkan. Hal ini sebagaimana keterangan para ulama bahwa hadits lemah tidak dapat dipakai sebagai dasar suatu amalam meskipun hanya fadhaail amal. Soal aqidah, ibadah, muamalah, maupun fadhaail amal harus berdasarkan dalil yang shahih. Di antara salah satu sebab munculnya bidah adalah karena pengamalan hadits-hadits lemah maupun palsu. Tidak dibenarkan menetapkan hukum syari, baik hukum mustahab (sunnat) atau hukum lainnya dengan hadits lemah. Inilah pendapat yang benar. Konsekuensinya, tidak ada perbedaan antara hadits tentang fadhaail amal dengan hadits tentang hukum. Inilah pendapat mayoritas ulama, seperti Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqolani, Imam Asy Syaukani, Al Allamah Shiddiq Hasan Khan dan Syaikh Muhammad Syakir serta lainnya.

PERLUKAH EUTHANASIA?

Terkadang, karena sakit yang diderita sangat berat, atau keluarga sudah tidak tega melihatnya; serta menurut ilmu medis, pasien tersebut tidak dapat sembuh, baginya kematian hanya soal waktu; seseorang disarankan atau meminta suntikan euthanasia, sehingga si sakit dapat segera terbebas dari penderitaan yang sering dialaminya selama ia masih hidup.

Euthanasia sebaiknya tidak dilakukan, hal ini karena: euthanasia menghalangi si sakit ataupun orang-orang di sekitar si sakit untuk mendapatkan manfaat dari status kehidupannya.

Dengan tetap hidup dengan kondisi semacam itu, si sakit akan dihapus catatan buruknya dan diangkat derajatnya, jika ia memiliki iman dan ihsan.

Dengan tetap hidup, yang bersangkutan terkadang mendapatkan doa yang baik dan diterima oleh Allah. Sehingga disembuhkan oleh Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, atau diampuni dosa-dosanya berkat doa sesama muslim yang ditujukan kepadanya.

Dengan tetap hidup, maka catatan buruk keluarganya yang dirundung kesedihan dan kegelisahan akan dihapus.

‘Tidaklah seorang muslim mengalami kepayahan, kesakitan, kegelisahan, kesedihan, gangguan, maupun kesusahan, bahkan duri yang menusuknya, melainkan dengan itu Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya. ‘ (HR. Bukhari no.5642)

Dengan tetap hidup, maka kebajikannya akan tetap mengalir dan tidak terputus, terutama jika yang bersangkutan adalah seorang ayah atau ibu.

Dan dengan tetap hidup, maka pahala akan tetap melimpah kepada orang yang menjenguk dan mengunjungi si sakit. Penjenguk akan mendapatkan shalawat dari 70 ribu malaikat yang ditugaskna mendoakannya, insya Allah.

Semoga bermanfaat, Allahu A’lam